Saturday, February 28, 2009

Kebenaran dan Kebohongan

Pada suatu hari, Kebenaran dan Kebohongan bertemu di jalan. “Selamat siang,” sapa Kebenaran. “Hei, selamat siang,” balas Kebohongan. “Bagaimana kabarmu?” “Yaa, kurang menggembirakan,” desah Kebenaran. “Keadaan terlalu berat untuk orang seperti aku.”

“Ya, aku bisa maklum,” kata Kebohongan sambil memandang Kebenaran dari atas sampai ke bawah. Kebenaran itu berpakaian kumal. “Tampaknya, kau telah lama tidak makan?”
“Terus terang, memang demikian, “kata Kebenaran. “Tak seorang pun mau mempekerjakan aku akhir-akhir ini. Ke mana pun aku pergi, hampir semua orang menolak bahkan menertawakan aku. Aku jadi putus asa. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri, mengapa aku begitu sabar.”
“Mengapa kau begitu malang? Ikut aku. Aku akan memperlihatkan kepadamu bagaimana cara bergaul. Sama sekali tidak ada alasan mengapa kau tidak dapat makan sepuas-puasnya atau berpakaian paling bagus seperti aku. Tetapi …”
“Tetapi apa? Katakanlah!” Kebenaran penasaran.

“Kau harus berjanji untuk tidak akan mengatakan sepatah kata pun yang melawan aku sementara kita sedang bersama. “
Kebenaran berpikir sejenak. Sebenarnya, ia tidak begitu suka dengan Kebohongan. Teapi, ia ingin segera makan. Kalau tidak, ia akan pingsan akibat saking laparnya. Akhirnya, ia pun mengambil keputusan. “Ya, aku berjanji,” kata Kebenaran. “Bagus, bagus,” kata Kebohongan.”Mari kita ke kota.”

Sesampai di kota, Kebohongan segera membawa Kebenaran ke restoran terbaik dan menempatkannya di meja terbaik. “Kami pesan makanan dan minuman yang paling baik. Ingat, ya, yang paling baik,” kata Kebohongan kepada pelayan restoran. Mereka makan dan minum sepuas-puasnya sepanjang hari itu. Akhirnya, ketika mereka sudah sangat kekenyangan sehingga tidak mampu lagi untuk menambah makanan atau minuman, Kebohongan mulai memukul meja dan memanggil manajer restoran agar mendekat.
“Penipu!” bentaknya. “Satu jam yang lalu, aku sudah bayar ke pelayan itu. Tapi, sampai sekarang, ia belum berikan kembaliannya.”

Manajer itu memanggil pelayan. Namun, pelayan itu mengatakan bahwa ia tidak pernah menerima sepeser pun dari orang itu.
“Apaaa??” lengkingan Kebohongan membuat setiap orang di restoran itu menoleh. “Aku tidak dapat mempercayai tempat ini. Warga negara yang jujur dan sadar hukum datang ke sini unuk makan, tahu?! Tetapi, kalian merampok uang hasil kerja keras mereka. Kalian pencuri dan sekaligus penipu. Kalian berhasil menipuku kali ini, tetapi… kalian tak akan pernah lagi melihatku! Ini!!” Kebohongan menyodorkan uang kepada manajer itu. “Sekarang, segera berikan kembaliannya!”

Akan tetapi, manajer tidak mau menerima uang itu karena tidak ingin nama baik restoran hancur. Ia malah membayar kembalian uang yang katanya telah diberikan. Manajer itu memanggil pelayan. Ia memarahinya, menganggapnya bajingan. Tidak hanya itu, manajer pun berencana untuk memecatnya. Betapapun pelayan itu menjelaskan bahwa ia tak mengambil sepeser pun dari orang tersebut, manajer tetap tidak mau percaya.

“Oh, Kebenaran, kau sembunyi di mana?” keluh pelayan dalam hati. “Apakah kau telah meninggalkan kami orang-orang jujur yang bekerja keras ini?”

“Tidak, aku ada disini,” gumam Kebenearan dalam hati. “Tetapi, akal sehatku telah tunduk pada perutku. Sekarang, aku tidak dapat bicara tanpa melanggar janjiku pada Kebohongan.”
Ketika mereka sudah berada kembali di jalan, Kebohongan tertawa puas dan menepuk-nepuk punggung Kebenaran. “Kau lihat bagaimana orang bertindak, “katanya. “Aku berhasil mengelabuhinya dengan cukup baik, bukan?” Tetapi, Kebenaran telah menghilang dari sisinya. “Lebih baik lapar daripada hidup seperti kau,” katanya.

“Demikianlah, Kebenaran dan Kebohongan pergi ke jalan masing-masing. Mereka tidak pernah lagi berjalan bersama.

(William J. Bennett)

Ketamakan

Seorang hartawan meninggal dunia dengan sebelumnya telah menuliskan pembagian harta untuk kedua orang putranya. Istrinya sudah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Si hartawan membagi dua hartanya dengan nilai kurang lebih sama. Akan tetapi karena jenis harta itu tidak persis sama yang diterima oleh masing-masing anak maka keduanya dengan iri menganggap bahwa anak yang lain mendapatkan warisan lebih banyak.

Setelah upacara penguburan, kedua putra tersebut segera saling ribut dan bersikeras bahwa yang lain mendapatkan harta warisan lebih banyak.Orang-orang mengusulkan keduanya membawa masalah mereka ke pengadilan. Berharap bisa memenangkan pengadilan karena merasa dirinya menerima warisan lebih sedikit, kedua putra seakan melupakan persaudaraan mereka dan menempuh penyelesaian melalui jalur hukum.

Sang Hakim dengan sabar mendengarkan keterangan dari keduanya. Hakim kemudian berkata, “Tulislah semua harta warisanmu. Jangan ada yang ketinggalan karena harta yang tidak tercantum akan menjadi milik umum”. Selanjutnya kedua putra diminta saling bertukar daftar dan memeriksa daftar dari saudaranya. “Apakah kalian masih merasa bahwa warisan yang diterima saudaramu lebih banyak dari yang kalian terima ?”. Tanpa ragu keduanya menjawab cepat, “Ya Pak Hakim, harta warisan saudaraku memang lebih banyak”. “Baiklah, karena kalian masing-masing menganggap bahwa daftar harta yang dimiliki oleh saudara kalian lebih banyak, silakan untuk saling menukarkan daftar masing-masing dan harta dalam daftar tersebut sekarang menjadi milik kalian”.

Sang Hakim mengecoh kedua putra tamak dengan keserakahan mereka sendiri. Kita sering melihat orang lain lebih baik, lebih enak, lebih bahagia, lebih pandai, lebih menarik dan berbagai kelebihan lainnya. Bisa jadi malah orang lain yang kita pandang lebih tersebut ternyata sebenarnya menganggap kitalah yang lebih.

Mulailah bisa menerima keadaan diri sendiri apa adanya, mempertahankan apa-apa yang sudah baik dan memperbaiki kekurangan yang ada. Jadilah orang yang percaya kepada Hukum Karma dan menerima karma masing-masing.
ANAK KATAK DAN ANAK ULAR

Belas kasih yang diajarkan agama mana pun diharapkan selalu tanpa batas. Untuk mewujudkan itu, kita ditantang untuk melawan budaya pengkotak-kotakan, budaya yang tanpa sadar diwariskan turun-temurun. Di bawah ini, ada sebuah cerita dari Afrika yang mengisahkan budaya pengkotak-kotakan itu.

Pada suatu pagi, seekor anak katak melompat-lompat di semak-semak. Tiba-tiba, ia melihat sosok yang baru baginya, sedang berbaring melintas jalan di depannya. Sosok asing itu panjang dan ramping. Kulitnya berkilat-kilat dengan warna pelangi. “Hallo, siapa, ya?” tanya anak katak. “Sedag\ng apa? Kok berbaring di jalan?” “Mandi sinar matahari,” sosok asing itu membalikkan badan. “Hai, namaku, Anak Ular. Kamu?” “Anak Katak. Maukah kamu bermain-main denganku?” “Mau, nggak masalah.”

Demikianlah, Anak Katak dan Anak Ular bermain-main sepanjang pagi di semak-semak. Mereka memperlihatkan keahlian masing-masing. “Lihat apa yang dapat aku lakukan,” kata Anak Katak. Ia melompat tinggi-tinggi ke udara lalu menjatuhkan kembali badannya di tanah dengan posisi seperti semula. “Kalau mau, kamu akan Kuajari cara melompat,”tawarnya. “Mau, mau,” kata Anak Ular antusias.

Anak Katak mengajari Anak Ular cara melompat. Mereka bersama-sama melompat ke atas lalu menjatuhkan diri ke tanah. Mereka melakukan hal itu secara terus menerus sampai akhirnya Anak Ular sudah mulai bisa melompat sendiri.

“Sekarang, giliranku, “kata Anak Ular. “Lihat apa yang dapat kulakukan.” Ia merayap dengan perutnya dan memanjat pohon yang tinggi. “Kalau kamu mau, aku akan mengajarimu.” “Asyik,” sambut Anak Katak penuh girang.

Anak Ular mengajarkan keahliannya kepada Anak Katak. Mereka menghabiskan waktu pada pagi hari itu untuk bermain sambil mengajarkan keahlian masing-masing. Tanpa terasa, hari sudah siang. Mereka merasa lapar. Karena itu, mereka ingin pulang. Terima kasih, ya. Kamu telah mengajariku merayap,’ kata Anak Katak. “Sama-sama. Kamu juga telah mengajariku melompat,” balas Anak Ular. “Besok, kita main bersama lagi, ya?” “Iya, tempatnya di sini.” “Sampai ketemu, ya. Daa…,” Anak Katak melambai-lambai.

Mereka pulang menuju ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah, mereka menceritakan pengalaman indah itu sambil memperlihatkan keahlian baru. ‘Ma….., lihat, Ma,” kata Anak Katak penuh semangat sambil merayap. “Siapa yang mengajarkan seperti itu?” tanya ibunya keheranan. “Teman baru, Ma,” jawabnya. “Ketemunya baru tadi pagi, trus kenalan dan kami main sama-sama.” “Siapa? Siapa namanya?” Ibunya tidak sabar. “Anak Ular, Ma.” “Apaa? Anak Ular?” ibunya kaget. Ia tidak percaya pada pendengarannya, “Jadi…, kamu main sama Anak Ular?” “Memangnya kenapa, Ma?” tanyanya sambil terus merayap. Berhenti!!”

Sementara itu, Anak Ular juga bercerita pada ibunya sambil melompat-lompat. Ibunya heran melihat tingkah anaknya. “Siapa yang mengajarimu seperti itu?” “Ada, Ma, teman baru. Tadi baru saja ketemu, kenalan, trus main sama-sama.” “Teman baru? Siapa?” tanya ibunya penasaran. “Anak Katak, Ma.” “Anak Katak? Betapa bodohnya kamu,” kata ibunya menggelengkan kepala. “Kenapa, Ma?” “Dari dulu,” ibunya menjelaskan, “kita selalu bermusuhan dengan keluarga katak. Begini, lain kali, kalau kamu main-main dengannya, terkam dan telan saja. Mengerti? Jangan melompat-lompat lagi. Itu bukan kebiasaan kita.”

Keesokan harinya, ketika Anak Katak bertemu dengan Anak Ular di tempat yang sama seperti kemarin, Anak Ular itu mengambil jarak. “Saya khawatir, saya tidak dapat merayap bersama kamu hari ini,” kata Anak Katak sambil melompat ke belakang. Diam-diam, Anak Ular memperhatikan. Ia ingat akan apa yang dikatakan oleh ibunya. “Kalau mendekat, aku akan menerkam dan menelannya, “ katanya dalam hati. Tetapi, ia juga ingat, betapa menyenangkannya bermain-main bersama kemarin. Anak Ular mendesah sedih dan menyelinap pergi masuk ke semak-semak.

Sejak saat itu, Anak Katak dan Anak Ular tidak pernah lagi bermain-main bersama. Mereka kerapkali duduk-duduk sendirian di bawah matahari, masing-masing mengenang persahabatan yang hanya berumur sehari.

(William J. Bennett)

Samurai Dalam Hening

Seorang murid junior sedang berjalan pulang setelah selesai berceramah di sebuah kuil di desa. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang murid senior, murid senior itu bertanya padanya, “Mengapa kamu berani memberikan ceramah kepada begitu banyak orang di kuil? Apa kamu yakin perkataanmu sudah benar? Kamu kan masih junior. Apa ilmu kamu sudah cukup?”

Sepanjang perjalanannya ke kuil, murid junior memikirkan teguran seniornya. Di kuil, ia menemui gurunya dan menanyakan apakah ia telah melakukan hal yang kurang baik dengan berceramah di kuil di desa. “Guru, apakah saya telah melakukan hal yang salah?” Gurunya menjawab, “Selama kau melakukannya dengan mindfulness maka hal itu benar adanya… asalkan mindfulness…” Murid junior bingung dan tidak mengerti akan jawaban gurunya. Kebingungan terpancar dari wajahnya. Melihat wajah bingung murid juniornya itu, guru berkata, “Berjalanlah ke utara maka kau akan tahu apa itu mindfulness.” Lalu gurunya kembali duduk bermeditasi. Murid junior pun menuruti nasehat gurunya. Ia berjalan ke utara, itu artinya ia harus berjalan menuju kota.

Di tengah jalan ia melihat sebuah dojo yang pintunya terbuka setengah. Di dalamnya ada dua orang samurai yang sedang duduk berhadapan. Wajah mereka sangat serius dan tanpa kata-kata. Suasananya sangat hening. Yang terdengar cuma suara kayu terbakar dari tungku masak poci teh yang berada di tengah-tengah kedua samurai itu.Murid junior mengintip dari balik pintu. Lalu salah seorang samurai berkata dalam kemarahan pada samurai hening dihadapannya, ia menunjuk-nunjukkan tangannya, “Kau telah membunuh kakakku! Kau telah membunuh kakakku!” Ternyata kakaknya tewas dalam pertempuran melawan pasukan samurai hening itu. “Kau telah membunuh kakakku! Aku akan membalaskan dendamnya! Kau telah membunuh kakakku!”, samurai dalam kemarahan itu terus-menerus meneriaki samurai hening. Sangat mengesankan, samurai hening itu tetap diam tanpa bereaksi. Hanya sesekali wajahnya berkerut menunjukkan emosi yang ingin keluar tapi tidak beberapa lama wajahnya menjadi hening kembali. Setelah beberapa saat, samurai hening itu berdiri, ia berkata dengan sangat tenang, “Sudah selesai?” Lalu ia berjalan ke dalam. “Kau telah membunuh kakakku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap rasa kehilangan ini. Aku tahu ia telah kalah dalam pertempuran. Ia telah kalah dalam pertempuran”,samurai dalam kemarahan itu menangis sambil memukul-mukulkan tangannya ke lantai. Kesedihan sangat terpancar dari dirinya. Setelah tenang, samurai dalam kemarahan itu berjalan keluar dojo dengan sebelumnya membungkuk hormat dan ia berkata kepada dirinya sendiri, “Kak, kau dikalahkan oleh orang yang hebat. Ia dikalahkan oleh orang yang hebat.”

Melihat semua itu, murid junior mengerti tentang mindfulness. Samurai dalam hening mengajarkannya tentang mindfulness. Samurai hening itu tetap diam dan hanya mengamati semua emosi yang muncul dari dalam dirinya dan membiarkannya musnah tanpa perlu mengeluarkan reaksi. Tujuan dari samurai dalam hening itu adalah hanya mendengarkan luapan emosi kemarahan samurai dalam kemarahan. Ia tahu luapan emosi samurai dalam kemarahan hanya perlu diungkapkan dan ia mendengarkannya tanpa perlu memberikan reaksi dan dengan demikian emosi itu pun akan musnah dengan sendirinya. Samurai dalam hening telah menetapkan tujuan dan ia tidak membiarkan emosi mengeluarkannya dari tujuan itu. Ia duduk mendengarkan luapan emosi samurai dalam kemarahan itu dengan penuh kesadaran. Mindfulness adalah menentukan tujuan, tetap berada di dalam tujuan itu, menyadari semua fenomena yang muncul dan membiarkannya musnah kembali tanpa harus larut didalamnya. Mindfulness membuat kita tetap berada dalam tujuan dengan menyadari semua emosi yang muncul dan membiarkannya musnah supaya kita tetap berada dalam tujuan.

Lalu murid junior langsung berlari pulang dan menemui gurunya. “Guru, saya telah mengerti! Saya telah mengerti!” Ternyata gurunya sedang di dalam toilet, dan di pintu toilet tergantung tulisan, “Sedang dalam mindfulness.”Murid junior mengerti, bahwa apapun yang dilakukan dalam mindfulness hasilnya akan lebih baik karena dilakukan dengan berkesadaran penuh.Mindfulness seperti radar yang mengamati semua fenomena yang muncul dalam perjalanan kita mencapai tujuan. Dengan mindfulness menjaga kita untuk selalu berada di jalur yang benar dan dia akan memberikan sinyal bila kesombongan, kebencian, keserakahan, kemalasan, dll mulai muncul supaya kita tidak meneruskannya menjadi reaksi dan supaya kita tetap ingat akan tujuan kita.

Abhaya Dana

Pada jaman dahulu terdapatlah seorang tuan tanah yang sangat sangat kikir. Tuan ini mempunyai tanah yang sangat luas. Tanah yang sedemikian luas tersebut banyak disewakan untuk para penduduk di sekitar tempat ia tinggal. Banyak pula tanahnya yang disewakan untuk orang dari daerah lain. Setiap tahun dia mengutus beberapa anak buahnya untuk menagih uang sewanya. Para utusan ini pergi ke berbagai daerah untuk menagih uang sewa tersebut. Pada waktu utusan itu menagih di suatu tempat, biasanya tuan tanah akan berpesan kepada mereka untuk membawa pulang oleh-oleh yang khas dari daerah tersebut. Para utusan dengan taat melakukan pesan tuannya. Mereka setiap kali kembali selalu membawa buah-buahan, makanan khas, souvenir dan masih banyak barang lainnya. Hal ini sungguh membahagiakan si tuan tanah. Demikianlah hal ini dilakukan untuk waktu yang lama.

Namun, pada suatu saat ada seorang utusan yang pulang dan tidak membawa buah tangan apapun juga. Ia bahkan tidak membawa pulang uang tagihan bersamanya. Si tuan tanah heran dan marah mengetahui hal ini. Ia menanyakan alasan utusan itu tidak membawa uang tagihan rutinnya. Utusan itu memberikan alasan bahwa daerah tempat ia harus menagih itu telah gagal panen dan ada bencana alam sehingga penyewa tanah sudah tidak mempunyai harta lagi. Karena itulah ia membebaskan mereka dari tagihan uang sewa tahun itu. Tuan tanah ini menjadi sangat marah dan langsung memecat utusan tersebut. Beberapa waktu kemudian, timbullah huru-hara besar di tempat si tuan tanah tinggal. Banyak rumah di hancurkan. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Si tuan tanah bersama dengan semua anggota keluarganya melarikan diri dan meninggalkan rumahnya. Mereka sekeluarga lari dan minta pertolongan serta perlindungan ke penduduk desa di sekitar mereka tinggal. Sayangnya, karena kekejamannya selama ini, mereka bukannya ditolong oleh penduduk, mereka bahkan akan dibunuh oleh penduduk. Tidak ada orang yang mau menolongnya. Mereka terus berjalan dari desa ke desa untuk meminta pertolongan. Namun, semua usaha ini mengalami kegagalan. Mereka bahkan selalu akan dibunuh di setiap tempat pemberhentian mereka.

Perjalanan mereka yang penuh ketakutan ini akhirnya membawa mereka ke sebuah desa yang terpencil. Mereka dengan penuh kekuatiran mencoba untuk minta tolong dan perlindungan kepada penduduk desa itu. Di luar dugaan, kedatangan mereka sekeluarga justru disambut hangat oleh para penduduk desa itu. Mereka disambut seolah orang yang sangat disayangi oleh penduduk di sana. Mereka merasa heran dengan sikap penduduk desa itu. Mereka kemudian menanyakan penyebab kehangatan sambutan yang dilakukan oleh semua penduduk. Ternyata, para penduduk desa ini merasa sangat berterima kasih kepada si tuan tanah bahwa pada saat panenan mereka gagal dan terjadi bencana alam, si tuan tanah telah membebaskan mereka dari segala tagihan uang sewa. Dan, inilah yang akhirnya menjadi kenangan indah untuk mereka. Ini pula yang menjadikan mereka merasa berhutang budi kepada si tuan tanah.

Mendengar hal ini, menangislah si tuan tanah. Ia menjadi teringat kepada utusannya yang telah diusirnya karena telah membebaskan tagihan uang sewa orang di desa ini. Ternyata, justru dari kebijaksanaan utusan itulah yang membuatnya selamat dan mendapatkan perlindungan. Ia kemudian berubah menjadi orang yang baik. Ia memulai usahanya di desa tempat ia di tampung dan dilindungi tersebut. Ia kemudian menjadi orang yang suka berdana, tidak lagi kikir. Ia pun menjadi orang yang sangat dicintai oleh masyarakat di manapun juga. Namanya menjadi harum bahkan sampai ke daerah-daerah lainnya.
BISA JATAKA : “UBI TERATAI” Setetes Dhamma Sebongkah Berlian
By: Dharma Virya

Orang yang telah belajar untuk mengusahakan kebahagiaan tiadanya keterikatan akan berpaling dari kesenangan duniawi, menjauhinya, seoalah-olah ia menyebabkan aib atau penderitaan baginya.

Suatu ketika Bodhisattva terlahir dalam sebuah keluarga brahmana yang sangat mulia, yang dipuji atas kebajikan serta tiadanya sifat-sifat tercela. Ia mempunyai enam saudara laki-laki yang sifat serta pembawaannya seperti dirinya, dan seorang saudara perempuan, yang seluruhnya mengikutinya dalam segala hal, disebabkan oleh pengaruh serta rasa sikap hormat mereka.

Setelah mempelajari Veda dan menguasai pengetahuan tentang obat-obatan, ketangkasan musik dan kerajinan tangan, ia sangat dihormati oleh seluruh penduduk. Ia merupakan anak yang sangat berbakti pada orang tuanya, menghormati orang tuanya seolah mereka para dewa; terhadap para saudara laki-lakinya ia bagaikan seorang guru atau ayah, mengajari mereka dalam berbagai pengetahuan. Ia sangat mahir dalam urusan-urusan duniawi ditunjang oleh kedisiplinannya yang tiada banding dan juga perilaku hidupnya.

Pada saat orang tuanya meninggal, perasaan kehilangan sangat dirasakannya. Seusai upacara pemakamanm dan setelah beberapa hari berkabung. Ia mengumpulkan semua saudaranya dan berkata kepada mereka: “Meskipun kita ingin tetap bersama-sama seterusnya, kematian pastilah memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Demikianlah sifat dunia ini dan itulah sumber penderitaan berat serta kesedihan. Karenanya aku bermaksud meninggalkan kehidupan rumah tangga, agar kematian tak mencariku sementara aku masih terikat pada kehidupan duniawi. Aku berkehendak akan mengembara tanpa rumah di Jalan Menuju Pencerahan.

“Setelah memutuskan hal ini, aku akan memberi kalian beberapa nasihat perpisahan: Keluarga kita telah memiliki kekayaan dengan cara yang pantas, dengannya kalian akan dapat dengan mudah menghidupi diri kalian sendiri. berdiamlah di sini sebagai perumah tangga dengan cara yang benar serta pantas. Saling mengasihi serta menghargai satu sama lain; cermat dalam mengikuti ajaran-ajaran kebajikan serta menjaga praktik kebajikan. Pelajarilah kitab-kitab suci, selalu bersiap memenuhi keinginan para sahabatmu, para tamumu dan juga keluargamu. Jelasnya, arahkan dirimu pada Dharma. Senantiasa bertindak dengan sikap disiplin dan rukun dengan orang lain; senanglah belajar dan memberi dana. Berhentilah menghiasi hidup sebagai perumah tangga. Nama baikmu akan berkembang, bersama dengan kebajikan dan kekayaanmu, memberimu kebahagiaan dalam hidup ini dan juga dalam kehidupan yang datang.”

Akan tetapi pembicaraan tentang kehidupan berumah tangga serta perpisahan ini, benar-benar mengejutkan para saudaranya. Diliputi oleh perasaan sedih, wajah mereka basah oleh air mata, mereka bersujud dengan hormat sambil berkata: “Kematian ayah masih segar dalam ingatan kita, mohon jangan menimpakan kesedihan yang baru oada kita. Kesedihan akibat kematian orang tua masih meliputi kita; keputusanmu bagaikan garam yang ditaburkan di atas luka menganga.

“Jika Engkau benar-benar menganggap bahwa keterikatan pada hidup berumah tangga adalah tidak bijaksana, dan hidup di hutan sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan sejati, mengapa Engkau hendak pergi seorang diri, meninggalkan kami di sini tanpa pelindung? “Hidup yang kaupilih tentunya juga pilihan kami. Kami juga akan meninggalkan kehidupan duniawi.”
Bodhisattva menjawab: “Mereka yang tidak biasa melepaskan keterikatan, tak akan bisa selain mengikuti keinginan duniawi secara membuta; mereka melihat tiada beda antara menginggalkan duniawi dengan meloncat dari tebing. Memahami hal ini, aku menghindarkan diri dari mendorong kalian untuk turut serta. Namun demikian bila hal itu benar-benar membuat kalian senang, baiklah, mari kita tinggalkan rumah bersama-sama!

Demikianlah ketujuh bersaudara tersebut bersama-sama dengan saudara perempuannya meninggalkan harta kekayaan rumah serta kesenangannya. Pergi diiringi oleh tangis para sahabat serta sanak saudara, mereka selanjutnya menjadi pertapa tanpa rumah. Mereka bersama-sama masuk ke dalam hutan yang menjadi tujuannya; karena tertarik juga turut serta salah seorang sahabat mereka bersama dengan dua orang pelayannya, seorang pria dan seorang wanita.

Mereka menjumpai sebuah telaga sangat besar di dalam hutan, airnya jernih kebiru-biruan. Di siang hari telaga tersebut menyala dalam keindahan; banyak bunga teratai yang mekar mengapung di atas airnya yang berkilauan, dengung lebah terbang di atas ombak. Di malam hari bunga kumuda membuka kuntumnya.

Di tepi telaga, mereka mendirikan pondok dari daun palem dalam jarak yang sama satu dengan yang lain, masing-masing pondok sepi serta tersembunyi di bawah bayangan pohon. Di sanalah mereka berdiam, menekuni ikrar-ikrar serta praktiknya, batin mereka terpusat pada praktik meditasi. Setiap hari kelima belas, mereka pergi bersana-sama menghadap Bodhisattva, untuk mendengarkan ajaran tentang jalan menuju ketenangan dan menaklukkan pikiran. Sering bodhisattva berbicara tentang kebajikan meditasi dan pengaruh keinginan yang menghancurkan, atau menjelaskan tentang kepuasan yang timbul dari pelepasan, memperingatkan mengenai kepura-puraan, pembicaraan yang tiada guna, kemalasan dan semacamnya. Dengan cara demikianlah ia memperkuat semangat para pendengarnya.

Saat itu pelayan perempuan mereka, dengan penuh rasa hormat serta kekaguman, terus mengikuti mereka bahkan hingga ke dalam hutan. Setiap hari ia mencabuti banyak ubi teratai dari telaga dan membagikannya dengan rata di atas daun bunga teratai. Bila makanan telah dipersiapkan dengan pantas dan diletakkan di tempat bersih di tepi telaga, ia akan memukulkan dua potong kayu bersamaan untuk memberitahu bahwa makanan telah siap, setelah itu ia diam-diam mengundurkan dirinya.

Sang suci, setelah melaksanakan doa-doa dan persembahan sebagaimana biasa, akan berjalan ke tepi telaga satu persatu sesuai usianya. Masing-masing akan mengambil bagian ubinya lalu kembali lagi ke dalam pondoknya, menyantap makanannya. Sisa waktunya sepanjang hari dihabiskan dalam meditasi. Dengna jalan ini mereka menghindari saling melihat sepanjang waktu kecuali pada saat mendengarkan ajaran.

Praktik sila yang demikian luar biasa, kemurnian bertingkah laku serta hidup yang demikian, dan kesenangan pada pelepasan yang demikian, menjadikan mereka sangat termashyur. Keteika Sakka, Raja para dewa, mendengar tentang keluarga suci ini, ia pergi ke istana kediamannya untuk menyusun rencana menguji mereka. Mengetahui kecakapannya dalam bermeditasi, mereka bebas dari kebiasaan buruk serta keinginan, dan mereka bercirikan ketenangan, kekagumannya terhadap mereka semakin besar, membuat lebih kuat lagi keinginan untuk menguji mereka.

Demikianlah, mereka yang telah bebas dari keinginan, mereka yang berdiam jauh di dalam hutan belantara, yang sepenuhnya berada dalam ketenangan batin, senantiasa menyebabkan timbulnya rasa hormat di hati orang-orang baik.

Ketika perempuan pelayan tersebut sedang mengumpulkan ubi teratai, yang berwarna putih bagaikan gading gajah muda. Sakka mengawasinya tanpa terlihat. Gadis itu kemudian mencucinya dan membaginya secara merata di atas lembar daun teratai berwarna hijau zamrud, menghiasi setiap daunnya dengan kuntum bunga dan madu. Sakka mengawasi ketia gadis tersebut memberitahukan bahwa makanan telah siap kepada para pertapa suci dengan cara memukulkan dua potong kayu, juga mengawasi saat gadis tersebut pergi. Saat itu juga, Sakka membuat satu bagian yang pertama lenyap dari atas lembar daun teratai. Dengan demikian bila persoalan muncul dan rasa puas hilang, keteguhan orang yang baik telah diuji dengan baik.

Ketika Bodhisattva mengetahui bahwa ubinya hilang dari atas daun teratai, kuntum bunga dan madu penghiasnya rusak, ia berpikir: “Seseorang telah mengambil makanan bagianku!” Tetapi tidak merasa marah ataupun terpengaruh, ia kembali lagi ke dalam pondoknya sebagaimana biasa dan kembali bermeditasi. Ia merasa tak perlu memberitahukan kejadian tersebut kepada yang lain, tak ingin mengganggu mereka. Dan mereka tentu saja, yakin bahwa Bodhisattva telah memakan bagiannya, mengambil bagiannya masing-masing sebagaimana biasa dan memakannya di dalam pondok mereka, setelah itu kembali melaksanakan meditasinya.

Dengan cara yang sama, Sakka mengambil bagian Bodhisattva pada hari kedua, ketiga, keempat dan kelima. Namun demikian kejadiannya tetap saja sama; Mahasattva tetap tenang dan sama sekali tak mempersoalkannya. Sesungguhnya, bagi orang yang baik, itu adalah hasutan pikiran, bukan berakhirnya hidup yang menyebabkan kematian yang sesungguhnya. Sehingga orang yang baik tetap sama sekali tak terganggu, bahkan meskipun hidupnya dalam keadaan bahaya.
Pada hari kelima belas sore, para pertapa sebagaimana biasa pergi ke pondok bodhisattva untuk mendengarkan ajarannya. Tetapi saat melihatnya, mereka sangat terkejut; tubuh Bodhisattva begitu kurus, perutnya begitu kosong dan matanya begitu sayu. Wajahnya yang berseri telah berkabut, suaranya kehilangan kekuatannya. Tetap saja, betapapun sangat kurus, ia tetap menarik bagaikan bulan sabit, berkat kebajika, kebijaksanaan, keteguhan dan keseimbangan batinnya yang tak pernah surut.

Setelah menyampaikan hormat kepada Bodhisattva sebagaimana biasa, para saudaranya lalu bertanya kepadanya dengan cemas yang menjadi penyebab keadaannya tersebut, dan Bodhisattva memberitahu mereka tentang makanannya yang hilang. Sulit membayangkan siapakah yang tega melakukan perbuatan seperti itu, dan sedikit cemas atas penderitaan saudaranya, para pertapa membicarakan penderitaanya, mata mereka tertunduk ke tanah sedih. Akan tetapi karena kekuatan Sakka secara perlahan-lahan telah bekerja mempengaruhi pikiran mereka, ia tak dapat bertamu karena keanehannya yang tak terlihat.

Lalu salah seorang saudara, tepatnya adik dari Bodhisattva, menunjukkan kedua alat penanda dan ketidaksalahannya melalui pernyataannya demikian: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, Oh Sang Brahmana, memperoleh rumah yang dihiasi oleh hiasan kekayaan dan seorang istri yang menyenangkan keinginan hatinya. Semoga ia juga memiliki banyak anak serta cucu!”

Kata saudaranya yang kedua: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, Oh Brahmana Mulia, akan ditandai dengan keterikatan yang kuat pada kesenangan duniawi. Semoga ia mengenakan benang serta karangan bunga serta wewangian terpilih, busana terbaik serta permata; semoga ia disayangi oleh anak-anaknya yang menarik!”

Kata saudaranya yang ketiga: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, menjadi perumah tangga yang kaya dengan keluarga yang besar. Semoga ia menyukai kehidupan rumah tangga tanpa berpikir sesaat pun ketika ia harus meninggalkan dunia!”

Ujar saudaranya yang keempat: “Semoga orang tamak yang mengambil ubi terataimu berkuasa di seluruh bumi, dipuja oleh para pangeran yang patuh seperti budak yang membungkukkan kepalanya dengan rendah kepadanya!”

Ujar saudaranya yang kelima: “Semoga siapapun yang mengambil ubi terataimu menjadi seorang pendeta agung di istana raja! Semoga ia memiliki pengetahuan mantra ampuh dan diperlakukan dengan sangat hormat!”

Ujar saudaranya yang keenam: “Semoga orang yang lebih pantas untuk memiliki ubi terataimu dari pada kemuliaanmu, menjadi seorang guru yang termasyhur fasih dalam melafalkan Veda, menikmati puji-pujian dari para siswanya yang banyak, yang memandangnya sebagai seorang pertapa agung!”

Ucap sahabatnya: “Semoga orang yang tak mampu mengekang keinginannya pada ubi terataimu, diberikan seuah desa yang baik oleh raja, desa yang dipenuhi oleh penduduk yang makmur yang memiliki lumbung jagung, timbunan kayu serta air, dan semoga ia meninggal tanpa pernah menaklukkan keinginannya!“

Ucap pelayan pria: “Semoga orang yang menghancurkan urusannya sendiri demi mendapatkan ubi teratai itu, menjadi seorang kepala desa. Semoga ia memiliki banyak teman, dihibur oleh banyak penari dan penyanyi wanita, semoga ia tak disakiti oleh raja!”
Ucap saudara perempuannya: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, menjadi seorang wanita yang kecantikannya tiada banding, dengan penampilan dan rupa tiada banding di dunia; semoga raja mengambilnya sebagai istri, dan semoga menjadikannya pemimpin di antara seribu orang selirnya!”

Ucap pelayan wanitanya: semoga orang yang mengarahkan hatinya untuk mendapatkan ubi teratai itu daripada memperoleh Dharma, sangat menyukai makan-makanan daging yang lezat saja dan dalam kegelapan. Semoga ia mengabaikan segala kebajikan, dan bergembira di mana pun ia diberikan makanan yang bagus!”

Saat itu, tiga makhluk hidup di dalam hutan juga datang mendekat untuk mendengarkan ajaran: seorang yaksa, seekor gajah dan seekor kera. Setelah mendengar pembicaraan tersebut, ketiganya diliputi oleh keragu-raguan serta kebingungan. Sehingga yaksa menyampaikan perasaanya dalam pernyataan sopan ini:

“Semoga siapa pun yang mengecewakanmu demi mendapatkan ubi teratai itu akan menjadi anggota vihara besar. Semoga ia bertanggung jawab atas segala perbaikan kota Kakangala dan diperintahkan untuk membuat satu jendela setiap hari!”

Ujar sang gajah: “Rsi termulia, semoga orang yang mengambil ubi terataimu akan dikeluarkan dari dalam hutan yang indah ini ke tempat manusia. Semoga ia dibelenggu dengan enam ratus rantai logam keras dan menderita penyakit yang menjijikkan dan galah penunggangnya!”
Ujar sang kera: “Semoga siapa pun yang tergerak oleh kerakusannya mengambil ubi terataimu, mengenakan untaian bunga yang murah dan ban leher kecil yang ketat melingkar di lehernya! Semoga ia dipukuli dengan tongkat dan dipaksa menari di depan seekor ular! Semoga ia melewatkan hari-harinya di rumah manusia!”

Selanjutnya dengan kata-kata yang baik dan meyakinkan, Bodhisattva menunjukkan kedalaman sifat belas kasihnya: “Semoga orang yang berkata salah: “Ia telah menghilang”, mesikipun ia memilikinya, memperoleh segala bentuk kesenangan dunia yang senantiasa diinginkannya, serta mati sebagai perumah tangga. Dan semoga keuntungan yang sama juga terjadi pada mereka yang menuduh yang lain melakukan perbuatan tersebut!”

Pernyataan yang sedemikian tak lazim, mengungkapkan ketidaksenangannya pada segala kesenangan duniawi, benar-benar sangat mengejutkan Sakka, Raja Para Dewa. Dalam penampilannya yang bersinar, ia menemui para pertapa dan berkata, seakan ia merasa kesal:
“Engkau tak seharusnya berkata seperti itu. Setiap orang di dunia ini menginginkan kebahagiaan, beberapa orang berjuang untuk itu dengan begitu susah payah hingga mereka bahkan tidak tidur; demi memperoleh kebahagiaan, orang akan melakukan berbagai cara pengorbanan dan kerja keras. Masihkan Engkau mencela kebahagiaan itu, dengan menyebutnya ‘Kebahagiaan duniawi!’ Bagaimana bisa Engkau membuat penilaian seperti itu?”

Bodhisattva menjawab: “Kebahagiaan indriawi akan membuat mereka menderita tiada akhir. Dengarlah, aku akan memberi tahumu tepatnya mengapa para Muni menyingkirkan keinginan. Orang akan berada dalam belenggu serta kematian, penyesalan, kelelahan, bahaya serta tiada terbilang bencana, hanya demi mendapatkan keinginannya. Untuk memperoleh apa yang mereka inginkan, raja akan dengan penuh nafsu menindas orang-orang baik, dan jatuh dari neraka ke neraka setelah kematiannya.

“Saat persahabatan tiba-tiba putus; ketika jalan yang salah dan ternoda dijalani demi memperoleh kemajuan; ketika nama baik hilang dan penderitaan timbul; bukankah yang demikian selalu disebabkan oleh keinginan?”

Kebahagiaan dunia, karena itu menghancurkan setiap orang, yang mulia, yang biasa maupun yang hina, baik dalam hidup ini maupun selanjutnya. Untuk itu, oh Dewa Sakka, demi untuk membawa kebajikan bagi dirinya sendiri, para Rsi menjaga jarak dari keinginan, sebagaimana menjauh dari ular yang marah.”

Merasa senang atas ucapan sang pertapa, Sakka menimpali: “Benar sekali!” Lalu ia mengakui bahwa dirinyalah yang telah melakukan pencurian. Orang Mulia hanya dapat diuji melalui cobaan, karenanya kusembunyikan ubi terataimu. Betapa beruntungnya dunia di mana keagungan yang seperti ini dijalankan! Ini, ambilah ubi teratai dariku untuk menunjang kelangsungan serta kesucian perbuatanmu.”

Demikianlah, ia lalu menyerahkan ubi teratai kepada Bodhisattva. Tetapi Mahasattva, berdasarkan kemurnian hati yang telah terbebas dari kebanggaan, mencela Sakka karena sikap ketidaksopanan serta kelancangannya:

“Kami bukanlah keluargamu, bukan juga sahabatmu. Kami bukanlah pemain sandiwara ataupun pelawak. Lalu apa alasanmu datang kemari, Hei Raja Para Dewa, mempermainkan para Rsi seperti ini?”

Dengan segera Sakka melepaskan perwujudan kedewataannya, antingnya yang kemilau, mahkotanya dan kalungnya yang menyala. Bersujud dengan penuh hormat, ia berkata demikian kepada Bodhisattva:

“Oh Mahasattva, Engkau yang telah terbebas dari sikap mementingkan diri sendiri, mohon maafkan perbuatanku yang salah sebagaimana seorang ayah atau guru. Bukanlah hal tak biasa bagi mereka yang mata kebijaksanaannya tertutup untuk mengganggu orang lain, meskipun ia sendiri juga begitu. Mohon maafkanlah kejahatan kami, dan mohon jangan menutup hati pada kami.” Setelah meredakan Bodhisaattva, Sakka menghilang.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana mereka yang telah belajar untuk menemukan kebahagiaan penyepian tak sesuai lagi dengan kesenangan duniawi. Mereka akan berpaling darinya seolah berpaling dari yang tidak menyenangkan serta kejahatan.
Jataka ini dijelaskan oleh Sang Bhagava demikian: “Aku telah menjadi saudara yang paling tua saat itu. Sariputta, Moggalana, Kassapa, Punna, Anurudha dan Ananda adalah saudara-saudaraku yang lain. Uppalavana adalah saudara perempuan. Kubgottara yang menjadi pelayan perempuan. Perumah tangga Kitra adalah pelayan prianya. Satagiri adalah yaksanya, Pariliya gajah, Madhudatar keranya, Kaludayi yang menjadi Sakka pada saat itu. Simpanlah Jataka ini dalam hati.

Prasangka

Suatu hari, ada seorang wanita sedang menunggu di bandara. Wajahnya cantik dan anggun. Ia menunggu giliran penerbangannya. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu mencari tempat duduk. Sambil duduk, wanita itu membaca buku yang baru saja dibelinya. Saat sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada di antara mereka. Wanita itu mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.

Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si pencuri kue yang kurang ajar itu menghabiskan kue persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir “Pria ini benar-benar kurang ajar. Benar-benar tak tau sopan santun, seenak perutnya sendiri mengambil kue orang tanpa permisi. Kalau aku bukan orang baik, sudah kutonjok dia! Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, wanita ini bertanya-tanya dna ingin tau apa yang akan dilakukan lelaki itu. Eh, ya ampun… pria kurang ajar betul.. dengan senyum menyebalkan dan wajah tanpa dosa, laki-laki sialan itu mengambil kue terakhir dan membaginya dua dengan si wanita yang sudah dongkol setengah mati ini. Si lelaki menawarkan separo kuenya, sementara ia disodori untuk makan yang separonya lagi. Aaahhhhhh benar-benar sialan, seringai tawanya seperti iblis jantan!!

Si wanita pun merebut kue itu dengan kasar dan berpikir, ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga sangat kurang ajar, malah ia tidak kelihatan menyesal sama sekali, benar-benar tidak tahu berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu kesal. Memang dunia ini semakin gila, contohnya: perampokan ada dimana-mana, bahkan para pencuri dan perampok itu sudah tak sungkan-sungkan lagi merampok dan melukai korbannya di depan mata kita. Benar-benar berani dan kurang ajar. Dan sekarang ia mengalaminya sendiri, kuenya dicuri di depan matanya, tanpa rasa takut dan sungkan. Benar-benar laki-laki kurang ajar!

Wanita ini menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Ia membuang muka dan menolak untuk menoleh pada si Pencuri tak tahu terima kasih itu! “Huh, seumur hidup, baru kali ini aku bertemu dengan orang sialan paling kasar, paling kurang ajar, tak sopan dan tak tahu berterima kasih seperti itu. Dasar maling tak tahu diuntung,” pikirnya jengkel.

Ia naik pesawat dan duduk dikursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat dia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget, jantungnya serasa berhenti. Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya. “Lho kok kueku masih ada disini?”, wanita ini mengerang dengan gelisah, mukanya memerah karena malu. Jadi, kue tadi memang adalah milik lelaki itu. Justru ia pria baik yang mencoba berbagi dengannya. Terlambat untuk meminta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu berterima kasih dan dialah pencuri kue itu. Aaaaaarrrrgggghhh ……….

Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri serta tak jarang kita berprasangka buruk dan menuduh orang lainlah yang kasar, orang lainlah yang tak tau berdosa, orang lainlah yang salah, padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tau berterima kasih.
Kita sering mengomentari, mencemooh pendapat atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya.
Siapakah Anda??? Si wanita “Anggun”??? atau pria “Pencuri Kue” itu???