Saturday, February 28, 2009

ANAK KATAK DAN ANAK ULAR

Belas kasih yang diajarkan agama mana pun diharapkan selalu tanpa batas. Untuk mewujudkan itu, kita ditantang untuk melawan budaya pengkotak-kotakan, budaya yang tanpa sadar diwariskan turun-temurun. Di bawah ini, ada sebuah cerita dari Afrika yang mengisahkan budaya pengkotak-kotakan itu.

Pada suatu pagi, seekor anak katak melompat-lompat di semak-semak. Tiba-tiba, ia melihat sosok yang baru baginya, sedang berbaring melintas jalan di depannya. Sosok asing itu panjang dan ramping. Kulitnya berkilat-kilat dengan warna pelangi. “Hallo, siapa, ya?” tanya anak katak. “Sedag\ng apa? Kok berbaring di jalan?” “Mandi sinar matahari,” sosok asing itu membalikkan badan. “Hai, namaku, Anak Ular. Kamu?” “Anak Katak. Maukah kamu bermain-main denganku?” “Mau, nggak masalah.”

Demikianlah, Anak Katak dan Anak Ular bermain-main sepanjang pagi di semak-semak. Mereka memperlihatkan keahlian masing-masing. “Lihat apa yang dapat aku lakukan,” kata Anak Katak. Ia melompat tinggi-tinggi ke udara lalu menjatuhkan kembali badannya di tanah dengan posisi seperti semula. “Kalau mau, kamu akan Kuajari cara melompat,”tawarnya. “Mau, mau,” kata Anak Ular antusias.

Anak Katak mengajari Anak Ular cara melompat. Mereka bersama-sama melompat ke atas lalu menjatuhkan diri ke tanah. Mereka melakukan hal itu secara terus menerus sampai akhirnya Anak Ular sudah mulai bisa melompat sendiri.

“Sekarang, giliranku, “kata Anak Ular. “Lihat apa yang dapat kulakukan.” Ia merayap dengan perutnya dan memanjat pohon yang tinggi. “Kalau kamu mau, aku akan mengajarimu.” “Asyik,” sambut Anak Katak penuh girang.

Anak Ular mengajarkan keahliannya kepada Anak Katak. Mereka menghabiskan waktu pada pagi hari itu untuk bermain sambil mengajarkan keahlian masing-masing. Tanpa terasa, hari sudah siang. Mereka merasa lapar. Karena itu, mereka ingin pulang. Terima kasih, ya. Kamu telah mengajariku merayap,’ kata Anak Katak. “Sama-sama. Kamu juga telah mengajariku melompat,” balas Anak Ular. “Besok, kita main bersama lagi, ya?” “Iya, tempatnya di sini.” “Sampai ketemu, ya. Daa…,” Anak Katak melambai-lambai.

Mereka pulang menuju ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah, mereka menceritakan pengalaman indah itu sambil memperlihatkan keahlian baru. ‘Ma….., lihat, Ma,” kata Anak Katak penuh semangat sambil merayap. “Siapa yang mengajarkan seperti itu?” tanya ibunya keheranan. “Teman baru, Ma,” jawabnya. “Ketemunya baru tadi pagi, trus kenalan dan kami main sama-sama.” “Siapa? Siapa namanya?” Ibunya tidak sabar. “Anak Ular, Ma.” “Apaa? Anak Ular?” ibunya kaget. Ia tidak percaya pada pendengarannya, “Jadi…, kamu main sama Anak Ular?” “Memangnya kenapa, Ma?” tanyanya sambil terus merayap. Berhenti!!”

Sementara itu, Anak Ular juga bercerita pada ibunya sambil melompat-lompat. Ibunya heran melihat tingkah anaknya. “Siapa yang mengajarimu seperti itu?” “Ada, Ma, teman baru. Tadi baru saja ketemu, kenalan, trus main sama-sama.” “Teman baru? Siapa?” tanya ibunya penasaran. “Anak Katak, Ma.” “Anak Katak? Betapa bodohnya kamu,” kata ibunya menggelengkan kepala. “Kenapa, Ma?” “Dari dulu,” ibunya menjelaskan, “kita selalu bermusuhan dengan keluarga katak. Begini, lain kali, kalau kamu main-main dengannya, terkam dan telan saja. Mengerti? Jangan melompat-lompat lagi. Itu bukan kebiasaan kita.”

Keesokan harinya, ketika Anak Katak bertemu dengan Anak Ular di tempat yang sama seperti kemarin, Anak Ular itu mengambil jarak. “Saya khawatir, saya tidak dapat merayap bersama kamu hari ini,” kata Anak Katak sambil melompat ke belakang. Diam-diam, Anak Ular memperhatikan. Ia ingat akan apa yang dikatakan oleh ibunya. “Kalau mendekat, aku akan menerkam dan menelannya, “ katanya dalam hati. Tetapi, ia juga ingat, betapa menyenangkannya bermain-main bersama kemarin. Anak Ular mendesah sedih dan menyelinap pergi masuk ke semak-semak.

Sejak saat itu, Anak Katak dan Anak Ular tidak pernah lagi bermain-main bersama. Mereka kerapkali duduk-duduk sendirian di bawah matahari, masing-masing mengenang persahabatan yang hanya berumur sehari.

(William J. Bennett)

No comments:

Post a Comment