Saturday, February 28, 2009

Kebenaran dan Kebohongan

Pada suatu hari, Kebenaran dan Kebohongan bertemu di jalan. “Selamat siang,” sapa Kebenaran. “Hei, selamat siang,” balas Kebohongan. “Bagaimana kabarmu?” “Yaa, kurang menggembirakan,” desah Kebenaran. “Keadaan terlalu berat untuk orang seperti aku.”

“Ya, aku bisa maklum,” kata Kebohongan sambil memandang Kebenaran dari atas sampai ke bawah. Kebenaran itu berpakaian kumal. “Tampaknya, kau telah lama tidak makan?”
“Terus terang, memang demikian, “kata Kebenaran. “Tak seorang pun mau mempekerjakan aku akhir-akhir ini. Ke mana pun aku pergi, hampir semua orang menolak bahkan menertawakan aku. Aku jadi putus asa. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri, mengapa aku begitu sabar.”
“Mengapa kau begitu malang? Ikut aku. Aku akan memperlihatkan kepadamu bagaimana cara bergaul. Sama sekali tidak ada alasan mengapa kau tidak dapat makan sepuas-puasnya atau berpakaian paling bagus seperti aku. Tetapi …”
“Tetapi apa? Katakanlah!” Kebenaran penasaran.

“Kau harus berjanji untuk tidak akan mengatakan sepatah kata pun yang melawan aku sementara kita sedang bersama. “
Kebenaran berpikir sejenak. Sebenarnya, ia tidak begitu suka dengan Kebohongan. Teapi, ia ingin segera makan. Kalau tidak, ia akan pingsan akibat saking laparnya. Akhirnya, ia pun mengambil keputusan. “Ya, aku berjanji,” kata Kebenaran. “Bagus, bagus,” kata Kebohongan.”Mari kita ke kota.”

Sesampai di kota, Kebohongan segera membawa Kebenaran ke restoran terbaik dan menempatkannya di meja terbaik. “Kami pesan makanan dan minuman yang paling baik. Ingat, ya, yang paling baik,” kata Kebohongan kepada pelayan restoran. Mereka makan dan minum sepuas-puasnya sepanjang hari itu. Akhirnya, ketika mereka sudah sangat kekenyangan sehingga tidak mampu lagi untuk menambah makanan atau minuman, Kebohongan mulai memukul meja dan memanggil manajer restoran agar mendekat.
“Penipu!” bentaknya. “Satu jam yang lalu, aku sudah bayar ke pelayan itu. Tapi, sampai sekarang, ia belum berikan kembaliannya.”

Manajer itu memanggil pelayan. Namun, pelayan itu mengatakan bahwa ia tidak pernah menerima sepeser pun dari orang itu.
“Apaaa??” lengkingan Kebohongan membuat setiap orang di restoran itu menoleh. “Aku tidak dapat mempercayai tempat ini. Warga negara yang jujur dan sadar hukum datang ke sini unuk makan, tahu?! Tetapi, kalian merampok uang hasil kerja keras mereka. Kalian pencuri dan sekaligus penipu. Kalian berhasil menipuku kali ini, tetapi… kalian tak akan pernah lagi melihatku! Ini!!” Kebohongan menyodorkan uang kepada manajer itu. “Sekarang, segera berikan kembaliannya!”

Akan tetapi, manajer tidak mau menerima uang itu karena tidak ingin nama baik restoran hancur. Ia malah membayar kembalian uang yang katanya telah diberikan. Manajer itu memanggil pelayan. Ia memarahinya, menganggapnya bajingan. Tidak hanya itu, manajer pun berencana untuk memecatnya. Betapapun pelayan itu menjelaskan bahwa ia tak mengambil sepeser pun dari orang tersebut, manajer tetap tidak mau percaya.

“Oh, Kebenaran, kau sembunyi di mana?” keluh pelayan dalam hati. “Apakah kau telah meninggalkan kami orang-orang jujur yang bekerja keras ini?”

“Tidak, aku ada disini,” gumam Kebenearan dalam hati. “Tetapi, akal sehatku telah tunduk pada perutku. Sekarang, aku tidak dapat bicara tanpa melanggar janjiku pada Kebohongan.”
Ketika mereka sudah berada kembali di jalan, Kebohongan tertawa puas dan menepuk-nepuk punggung Kebenaran. “Kau lihat bagaimana orang bertindak, “katanya. “Aku berhasil mengelabuhinya dengan cukup baik, bukan?” Tetapi, Kebenaran telah menghilang dari sisinya. “Lebih baik lapar daripada hidup seperti kau,” katanya.

“Demikianlah, Kebenaran dan Kebohongan pergi ke jalan masing-masing. Mereka tidak pernah lagi berjalan bersama.

(William J. Bennett)

Ketamakan

Seorang hartawan meninggal dunia dengan sebelumnya telah menuliskan pembagian harta untuk kedua orang putranya. Istrinya sudah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Si hartawan membagi dua hartanya dengan nilai kurang lebih sama. Akan tetapi karena jenis harta itu tidak persis sama yang diterima oleh masing-masing anak maka keduanya dengan iri menganggap bahwa anak yang lain mendapatkan warisan lebih banyak.

Setelah upacara penguburan, kedua putra tersebut segera saling ribut dan bersikeras bahwa yang lain mendapatkan harta warisan lebih banyak.Orang-orang mengusulkan keduanya membawa masalah mereka ke pengadilan. Berharap bisa memenangkan pengadilan karena merasa dirinya menerima warisan lebih sedikit, kedua putra seakan melupakan persaudaraan mereka dan menempuh penyelesaian melalui jalur hukum.

Sang Hakim dengan sabar mendengarkan keterangan dari keduanya. Hakim kemudian berkata, “Tulislah semua harta warisanmu. Jangan ada yang ketinggalan karena harta yang tidak tercantum akan menjadi milik umum”. Selanjutnya kedua putra diminta saling bertukar daftar dan memeriksa daftar dari saudaranya. “Apakah kalian masih merasa bahwa warisan yang diterima saudaramu lebih banyak dari yang kalian terima ?”. Tanpa ragu keduanya menjawab cepat, “Ya Pak Hakim, harta warisan saudaraku memang lebih banyak”. “Baiklah, karena kalian masing-masing menganggap bahwa daftar harta yang dimiliki oleh saudara kalian lebih banyak, silakan untuk saling menukarkan daftar masing-masing dan harta dalam daftar tersebut sekarang menjadi milik kalian”.

Sang Hakim mengecoh kedua putra tamak dengan keserakahan mereka sendiri. Kita sering melihat orang lain lebih baik, lebih enak, lebih bahagia, lebih pandai, lebih menarik dan berbagai kelebihan lainnya. Bisa jadi malah orang lain yang kita pandang lebih tersebut ternyata sebenarnya menganggap kitalah yang lebih.

Mulailah bisa menerima keadaan diri sendiri apa adanya, mempertahankan apa-apa yang sudah baik dan memperbaiki kekurangan yang ada. Jadilah orang yang percaya kepada Hukum Karma dan menerima karma masing-masing.
ANAK KATAK DAN ANAK ULAR

Belas kasih yang diajarkan agama mana pun diharapkan selalu tanpa batas. Untuk mewujudkan itu, kita ditantang untuk melawan budaya pengkotak-kotakan, budaya yang tanpa sadar diwariskan turun-temurun. Di bawah ini, ada sebuah cerita dari Afrika yang mengisahkan budaya pengkotak-kotakan itu.

Pada suatu pagi, seekor anak katak melompat-lompat di semak-semak. Tiba-tiba, ia melihat sosok yang baru baginya, sedang berbaring melintas jalan di depannya. Sosok asing itu panjang dan ramping. Kulitnya berkilat-kilat dengan warna pelangi. “Hallo, siapa, ya?” tanya anak katak. “Sedag\ng apa? Kok berbaring di jalan?” “Mandi sinar matahari,” sosok asing itu membalikkan badan. “Hai, namaku, Anak Ular. Kamu?” “Anak Katak. Maukah kamu bermain-main denganku?” “Mau, nggak masalah.”

Demikianlah, Anak Katak dan Anak Ular bermain-main sepanjang pagi di semak-semak. Mereka memperlihatkan keahlian masing-masing. “Lihat apa yang dapat aku lakukan,” kata Anak Katak. Ia melompat tinggi-tinggi ke udara lalu menjatuhkan kembali badannya di tanah dengan posisi seperti semula. “Kalau mau, kamu akan Kuajari cara melompat,”tawarnya. “Mau, mau,” kata Anak Ular antusias.

Anak Katak mengajari Anak Ular cara melompat. Mereka bersama-sama melompat ke atas lalu menjatuhkan diri ke tanah. Mereka melakukan hal itu secara terus menerus sampai akhirnya Anak Ular sudah mulai bisa melompat sendiri.

“Sekarang, giliranku, “kata Anak Ular. “Lihat apa yang dapat kulakukan.” Ia merayap dengan perutnya dan memanjat pohon yang tinggi. “Kalau kamu mau, aku akan mengajarimu.” “Asyik,” sambut Anak Katak penuh girang.

Anak Ular mengajarkan keahliannya kepada Anak Katak. Mereka menghabiskan waktu pada pagi hari itu untuk bermain sambil mengajarkan keahlian masing-masing. Tanpa terasa, hari sudah siang. Mereka merasa lapar. Karena itu, mereka ingin pulang. Terima kasih, ya. Kamu telah mengajariku merayap,’ kata Anak Katak. “Sama-sama. Kamu juga telah mengajariku melompat,” balas Anak Ular. “Besok, kita main bersama lagi, ya?” “Iya, tempatnya di sini.” “Sampai ketemu, ya. Daa…,” Anak Katak melambai-lambai.

Mereka pulang menuju ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah, mereka menceritakan pengalaman indah itu sambil memperlihatkan keahlian baru. ‘Ma….., lihat, Ma,” kata Anak Katak penuh semangat sambil merayap. “Siapa yang mengajarkan seperti itu?” tanya ibunya keheranan. “Teman baru, Ma,” jawabnya. “Ketemunya baru tadi pagi, trus kenalan dan kami main sama-sama.” “Siapa? Siapa namanya?” Ibunya tidak sabar. “Anak Ular, Ma.” “Apaa? Anak Ular?” ibunya kaget. Ia tidak percaya pada pendengarannya, “Jadi…, kamu main sama Anak Ular?” “Memangnya kenapa, Ma?” tanyanya sambil terus merayap. Berhenti!!”

Sementara itu, Anak Ular juga bercerita pada ibunya sambil melompat-lompat. Ibunya heran melihat tingkah anaknya. “Siapa yang mengajarimu seperti itu?” “Ada, Ma, teman baru. Tadi baru saja ketemu, kenalan, trus main sama-sama.” “Teman baru? Siapa?” tanya ibunya penasaran. “Anak Katak, Ma.” “Anak Katak? Betapa bodohnya kamu,” kata ibunya menggelengkan kepala. “Kenapa, Ma?” “Dari dulu,” ibunya menjelaskan, “kita selalu bermusuhan dengan keluarga katak. Begini, lain kali, kalau kamu main-main dengannya, terkam dan telan saja. Mengerti? Jangan melompat-lompat lagi. Itu bukan kebiasaan kita.”

Keesokan harinya, ketika Anak Katak bertemu dengan Anak Ular di tempat yang sama seperti kemarin, Anak Ular itu mengambil jarak. “Saya khawatir, saya tidak dapat merayap bersama kamu hari ini,” kata Anak Katak sambil melompat ke belakang. Diam-diam, Anak Ular memperhatikan. Ia ingat akan apa yang dikatakan oleh ibunya. “Kalau mendekat, aku akan menerkam dan menelannya, “ katanya dalam hati. Tetapi, ia juga ingat, betapa menyenangkannya bermain-main bersama kemarin. Anak Ular mendesah sedih dan menyelinap pergi masuk ke semak-semak.

Sejak saat itu, Anak Katak dan Anak Ular tidak pernah lagi bermain-main bersama. Mereka kerapkali duduk-duduk sendirian di bawah matahari, masing-masing mengenang persahabatan yang hanya berumur sehari.

(William J. Bennett)

Samurai Dalam Hening

Seorang murid junior sedang berjalan pulang setelah selesai berceramah di sebuah kuil di desa. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang murid senior, murid senior itu bertanya padanya, “Mengapa kamu berani memberikan ceramah kepada begitu banyak orang di kuil? Apa kamu yakin perkataanmu sudah benar? Kamu kan masih junior. Apa ilmu kamu sudah cukup?”

Sepanjang perjalanannya ke kuil, murid junior memikirkan teguran seniornya. Di kuil, ia menemui gurunya dan menanyakan apakah ia telah melakukan hal yang kurang baik dengan berceramah di kuil di desa. “Guru, apakah saya telah melakukan hal yang salah?” Gurunya menjawab, “Selama kau melakukannya dengan mindfulness maka hal itu benar adanya… asalkan mindfulness…” Murid junior bingung dan tidak mengerti akan jawaban gurunya. Kebingungan terpancar dari wajahnya. Melihat wajah bingung murid juniornya itu, guru berkata, “Berjalanlah ke utara maka kau akan tahu apa itu mindfulness.” Lalu gurunya kembali duduk bermeditasi. Murid junior pun menuruti nasehat gurunya. Ia berjalan ke utara, itu artinya ia harus berjalan menuju kota.

Di tengah jalan ia melihat sebuah dojo yang pintunya terbuka setengah. Di dalamnya ada dua orang samurai yang sedang duduk berhadapan. Wajah mereka sangat serius dan tanpa kata-kata. Suasananya sangat hening. Yang terdengar cuma suara kayu terbakar dari tungku masak poci teh yang berada di tengah-tengah kedua samurai itu.Murid junior mengintip dari balik pintu. Lalu salah seorang samurai berkata dalam kemarahan pada samurai hening dihadapannya, ia menunjuk-nunjukkan tangannya, “Kau telah membunuh kakakku! Kau telah membunuh kakakku!” Ternyata kakaknya tewas dalam pertempuran melawan pasukan samurai hening itu. “Kau telah membunuh kakakku! Aku akan membalaskan dendamnya! Kau telah membunuh kakakku!”, samurai dalam kemarahan itu terus-menerus meneriaki samurai hening. Sangat mengesankan, samurai hening itu tetap diam tanpa bereaksi. Hanya sesekali wajahnya berkerut menunjukkan emosi yang ingin keluar tapi tidak beberapa lama wajahnya menjadi hening kembali. Setelah beberapa saat, samurai hening itu berdiri, ia berkata dengan sangat tenang, “Sudah selesai?” Lalu ia berjalan ke dalam. “Kau telah membunuh kakakku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap rasa kehilangan ini. Aku tahu ia telah kalah dalam pertempuran. Ia telah kalah dalam pertempuran”,samurai dalam kemarahan itu menangis sambil memukul-mukulkan tangannya ke lantai. Kesedihan sangat terpancar dari dirinya. Setelah tenang, samurai dalam kemarahan itu berjalan keluar dojo dengan sebelumnya membungkuk hormat dan ia berkata kepada dirinya sendiri, “Kak, kau dikalahkan oleh orang yang hebat. Ia dikalahkan oleh orang yang hebat.”

Melihat semua itu, murid junior mengerti tentang mindfulness. Samurai dalam hening mengajarkannya tentang mindfulness. Samurai hening itu tetap diam dan hanya mengamati semua emosi yang muncul dari dalam dirinya dan membiarkannya musnah tanpa perlu mengeluarkan reaksi. Tujuan dari samurai dalam hening itu adalah hanya mendengarkan luapan emosi kemarahan samurai dalam kemarahan. Ia tahu luapan emosi samurai dalam kemarahan hanya perlu diungkapkan dan ia mendengarkannya tanpa perlu memberikan reaksi dan dengan demikian emosi itu pun akan musnah dengan sendirinya. Samurai dalam hening telah menetapkan tujuan dan ia tidak membiarkan emosi mengeluarkannya dari tujuan itu. Ia duduk mendengarkan luapan emosi samurai dalam kemarahan itu dengan penuh kesadaran. Mindfulness adalah menentukan tujuan, tetap berada di dalam tujuan itu, menyadari semua fenomena yang muncul dan membiarkannya musnah kembali tanpa harus larut didalamnya. Mindfulness membuat kita tetap berada dalam tujuan dengan menyadari semua emosi yang muncul dan membiarkannya musnah supaya kita tetap berada dalam tujuan.

Lalu murid junior langsung berlari pulang dan menemui gurunya. “Guru, saya telah mengerti! Saya telah mengerti!” Ternyata gurunya sedang di dalam toilet, dan di pintu toilet tergantung tulisan, “Sedang dalam mindfulness.”Murid junior mengerti, bahwa apapun yang dilakukan dalam mindfulness hasilnya akan lebih baik karena dilakukan dengan berkesadaran penuh.Mindfulness seperti radar yang mengamati semua fenomena yang muncul dalam perjalanan kita mencapai tujuan. Dengan mindfulness menjaga kita untuk selalu berada di jalur yang benar dan dia akan memberikan sinyal bila kesombongan, kebencian, keserakahan, kemalasan, dll mulai muncul supaya kita tidak meneruskannya menjadi reaksi dan supaya kita tetap ingat akan tujuan kita.

Abhaya Dana

Pada jaman dahulu terdapatlah seorang tuan tanah yang sangat sangat kikir. Tuan ini mempunyai tanah yang sangat luas. Tanah yang sedemikian luas tersebut banyak disewakan untuk para penduduk di sekitar tempat ia tinggal. Banyak pula tanahnya yang disewakan untuk orang dari daerah lain. Setiap tahun dia mengutus beberapa anak buahnya untuk menagih uang sewanya. Para utusan ini pergi ke berbagai daerah untuk menagih uang sewa tersebut. Pada waktu utusan itu menagih di suatu tempat, biasanya tuan tanah akan berpesan kepada mereka untuk membawa pulang oleh-oleh yang khas dari daerah tersebut. Para utusan dengan taat melakukan pesan tuannya. Mereka setiap kali kembali selalu membawa buah-buahan, makanan khas, souvenir dan masih banyak barang lainnya. Hal ini sungguh membahagiakan si tuan tanah. Demikianlah hal ini dilakukan untuk waktu yang lama.

Namun, pada suatu saat ada seorang utusan yang pulang dan tidak membawa buah tangan apapun juga. Ia bahkan tidak membawa pulang uang tagihan bersamanya. Si tuan tanah heran dan marah mengetahui hal ini. Ia menanyakan alasan utusan itu tidak membawa uang tagihan rutinnya. Utusan itu memberikan alasan bahwa daerah tempat ia harus menagih itu telah gagal panen dan ada bencana alam sehingga penyewa tanah sudah tidak mempunyai harta lagi. Karena itulah ia membebaskan mereka dari tagihan uang sewa tahun itu. Tuan tanah ini menjadi sangat marah dan langsung memecat utusan tersebut. Beberapa waktu kemudian, timbullah huru-hara besar di tempat si tuan tanah tinggal. Banyak rumah di hancurkan. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Si tuan tanah bersama dengan semua anggota keluarganya melarikan diri dan meninggalkan rumahnya. Mereka sekeluarga lari dan minta pertolongan serta perlindungan ke penduduk desa di sekitar mereka tinggal. Sayangnya, karena kekejamannya selama ini, mereka bukannya ditolong oleh penduduk, mereka bahkan akan dibunuh oleh penduduk. Tidak ada orang yang mau menolongnya. Mereka terus berjalan dari desa ke desa untuk meminta pertolongan. Namun, semua usaha ini mengalami kegagalan. Mereka bahkan selalu akan dibunuh di setiap tempat pemberhentian mereka.

Perjalanan mereka yang penuh ketakutan ini akhirnya membawa mereka ke sebuah desa yang terpencil. Mereka dengan penuh kekuatiran mencoba untuk minta tolong dan perlindungan kepada penduduk desa itu. Di luar dugaan, kedatangan mereka sekeluarga justru disambut hangat oleh para penduduk desa itu. Mereka disambut seolah orang yang sangat disayangi oleh penduduk di sana. Mereka merasa heran dengan sikap penduduk desa itu. Mereka kemudian menanyakan penyebab kehangatan sambutan yang dilakukan oleh semua penduduk. Ternyata, para penduduk desa ini merasa sangat berterima kasih kepada si tuan tanah bahwa pada saat panenan mereka gagal dan terjadi bencana alam, si tuan tanah telah membebaskan mereka dari segala tagihan uang sewa. Dan, inilah yang akhirnya menjadi kenangan indah untuk mereka. Ini pula yang menjadikan mereka merasa berhutang budi kepada si tuan tanah.

Mendengar hal ini, menangislah si tuan tanah. Ia menjadi teringat kepada utusannya yang telah diusirnya karena telah membebaskan tagihan uang sewa orang di desa ini. Ternyata, justru dari kebijaksanaan utusan itulah yang membuatnya selamat dan mendapatkan perlindungan. Ia kemudian berubah menjadi orang yang baik. Ia memulai usahanya di desa tempat ia di tampung dan dilindungi tersebut. Ia kemudian menjadi orang yang suka berdana, tidak lagi kikir. Ia pun menjadi orang yang sangat dicintai oleh masyarakat di manapun juga. Namanya menjadi harum bahkan sampai ke daerah-daerah lainnya.
BISA JATAKA : “UBI TERATAI” Setetes Dhamma Sebongkah Berlian
By: Dharma Virya

Orang yang telah belajar untuk mengusahakan kebahagiaan tiadanya keterikatan akan berpaling dari kesenangan duniawi, menjauhinya, seoalah-olah ia menyebabkan aib atau penderitaan baginya.

Suatu ketika Bodhisattva terlahir dalam sebuah keluarga brahmana yang sangat mulia, yang dipuji atas kebajikan serta tiadanya sifat-sifat tercela. Ia mempunyai enam saudara laki-laki yang sifat serta pembawaannya seperti dirinya, dan seorang saudara perempuan, yang seluruhnya mengikutinya dalam segala hal, disebabkan oleh pengaruh serta rasa sikap hormat mereka.

Setelah mempelajari Veda dan menguasai pengetahuan tentang obat-obatan, ketangkasan musik dan kerajinan tangan, ia sangat dihormati oleh seluruh penduduk. Ia merupakan anak yang sangat berbakti pada orang tuanya, menghormati orang tuanya seolah mereka para dewa; terhadap para saudara laki-lakinya ia bagaikan seorang guru atau ayah, mengajari mereka dalam berbagai pengetahuan. Ia sangat mahir dalam urusan-urusan duniawi ditunjang oleh kedisiplinannya yang tiada banding dan juga perilaku hidupnya.

Pada saat orang tuanya meninggal, perasaan kehilangan sangat dirasakannya. Seusai upacara pemakamanm dan setelah beberapa hari berkabung. Ia mengumpulkan semua saudaranya dan berkata kepada mereka: “Meskipun kita ingin tetap bersama-sama seterusnya, kematian pastilah memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Demikianlah sifat dunia ini dan itulah sumber penderitaan berat serta kesedihan. Karenanya aku bermaksud meninggalkan kehidupan rumah tangga, agar kematian tak mencariku sementara aku masih terikat pada kehidupan duniawi. Aku berkehendak akan mengembara tanpa rumah di Jalan Menuju Pencerahan.

“Setelah memutuskan hal ini, aku akan memberi kalian beberapa nasihat perpisahan: Keluarga kita telah memiliki kekayaan dengan cara yang pantas, dengannya kalian akan dapat dengan mudah menghidupi diri kalian sendiri. berdiamlah di sini sebagai perumah tangga dengan cara yang benar serta pantas. Saling mengasihi serta menghargai satu sama lain; cermat dalam mengikuti ajaran-ajaran kebajikan serta menjaga praktik kebajikan. Pelajarilah kitab-kitab suci, selalu bersiap memenuhi keinginan para sahabatmu, para tamumu dan juga keluargamu. Jelasnya, arahkan dirimu pada Dharma. Senantiasa bertindak dengan sikap disiplin dan rukun dengan orang lain; senanglah belajar dan memberi dana. Berhentilah menghiasi hidup sebagai perumah tangga. Nama baikmu akan berkembang, bersama dengan kebajikan dan kekayaanmu, memberimu kebahagiaan dalam hidup ini dan juga dalam kehidupan yang datang.”

Akan tetapi pembicaraan tentang kehidupan berumah tangga serta perpisahan ini, benar-benar mengejutkan para saudaranya. Diliputi oleh perasaan sedih, wajah mereka basah oleh air mata, mereka bersujud dengan hormat sambil berkata: “Kematian ayah masih segar dalam ingatan kita, mohon jangan menimpakan kesedihan yang baru oada kita. Kesedihan akibat kematian orang tua masih meliputi kita; keputusanmu bagaikan garam yang ditaburkan di atas luka menganga.

“Jika Engkau benar-benar menganggap bahwa keterikatan pada hidup berumah tangga adalah tidak bijaksana, dan hidup di hutan sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan sejati, mengapa Engkau hendak pergi seorang diri, meninggalkan kami di sini tanpa pelindung? “Hidup yang kaupilih tentunya juga pilihan kami. Kami juga akan meninggalkan kehidupan duniawi.”
Bodhisattva menjawab: “Mereka yang tidak biasa melepaskan keterikatan, tak akan bisa selain mengikuti keinginan duniawi secara membuta; mereka melihat tiada beda antara menginggalkan duniawi dengan meloncat dari tebing. Memahami hal ini, aku menghindarkan diri dari mendorong kalian untuk turut serta. Namun demikian bila hal itu benar-benar membuat kalian senang, baiklah, mari kita tinggalkan rumah bersama-sama!

Demikianlah ketujuh bersaudara tersebut bersama-sama dengan saudara perempuannya meninggalkan harta kekayaan rumah serta kesenangannya. Pergi diiringi oleh tangis para sahabat serta sanak saudara, mereka selanjutnya menjadi pertapa tanpa rumah. Mereka bersama-sama masuk ke dalam hutan yang menjadi tujuannya; karena tertarik juga turut serta salah seorang sahabat mereka bersama dengan dua orang pelayannya, seorang pria dan seorang wanita.

Mereka menjumpai sebuah telaga sangat besar di dalam hutan, airnya jernih kebiru-biruan. Di siang hari telaga tersebut menyala dalam keindahan; banyak bunga teratai yang mekar mengapung di atas airnya yang berkilauan, dengung lebah terbang di atas ombak. Di malam hari bunga kumuda membuka kuntumnya.

Di tepi telaga, mereka mendirikan pondok dari daun palem dalam jarak yang sama satu dengan yang lain, masing-masing pondok sepi serta tersembunyi di bawah bayangan pohon. Di sanalah mereka berdiam, menekuni ikrar-ikrar serta praktiknya, batin mereka terpusat pada praktik meditasi. Setiap hari kelima belas, mereka pergi bersana-sama menghadap Bodhisattva, untuk mendengarkan ajaran tentang jalan menuju ketenangan dan menaklukkan pikiran. Sering bodhisattva berbicara tentang kebajikan meditasi dan pengaruh keinginan yang menghancurkan, atau menjelaskan tentang kepuasan yang timbul dari pelepasan, memperingatkan mengenai kepura-puraan, pembicaraan yang tiada guna, kemalasan dan semacamnya. Dengan cara demikianlah ia memperkuat semangat para pendengarnya.

Saat itu pelayan perempuan mereka, dengan penuh rasa hormat serta kekaguman, terus mengikuti mereka bahkan hingga ke dalam hutan. Setiap hari ia mencabuti banyak ubi teratai dari telaga dan membagikannya dengan rata di atas daun bunga teratai. Bila makanan telah dipersiapkan dengan pantas dan diletakkan di tempat bersih di tepi telaga, ia akan memukulkan dua potong kayu bersamaan untuk memberitahu bahwa makanan telah siap, setelah itu ia diam-diam mengundurkan dirinya.

Sang suci, setelah melaksanakan doa-doa dan persembahan sebagaimana biasa, akan berjalan ke tepi telaga satu persatu sesuai usianya. Masing-masing akan mengambil bagian ubinya lalu kembali lagi ke dalam pondoknya, menyantap makanannya. Sisa waktunya sepanjang hari dihabiskan dalam meditasi. Dengna jalan ini mereka menghindari saling melihat sepanjang waktu kecuali pada saat mendengarkan ajaran.

Praktik sila yang demikian luar biasa, kemurnian bertingkah laku serta hidup yang demikian, dan kesenangan pada pelepasan yang demikian, menjadikan mereka sangat termashyur. Keteika Sakka, Raja para dewa, mendengar tentang keluarga suci ini, ia pergi ke istana kediamannya untuk menyusun rencana menguji mereka. Mengetahui kecakapannya dalam bermeditasi, mereka bebas dari kebiasaan buruk serta keinginan, dan mereka bercirikan ketenangan, kekagumannya terhadap mereka semakin besar, membuat lebih kuat lagi keinginan untuk menguji mereka.

Demikianlah, mereka yang telah bebas dari keinginan, mereka yang berdiam jauh di dalam hutan belantara, yang sepenuhnya berada dalam ketenangan batin, senantiasa menyebabkan timbulnya rasa hormat di hati orang-orang baik.

Ketika perempuan pelayan tersebut sedang mengumpulkan ubi teratai, yang berwarna putih bagaikan gading gajah muda. Sakka mengawasinya tanpa terlihat. Gadis itu kemudian mencucinya dan membaginya secara merata di atas lembar daun teratai berwarna hijau zamrud, menghiasi setiap daunnya dengan kuntum bunga dan madu. Sakka mengawasi ketia gadis tersebut memberitahukan bahwa makanan telah siap kepada para pertapa suci dengan cara memukulkan dua potong kayu, juga mengawasi saat gadis tersebut pergi. Saat itu juga, Sakka membuat satu bagian yang pertama lenyap dari atas lembar daun teratai. Dengan demikian bila persoalan muncul dan rasa puas hilang, keteguhan orang yang baik telah diuji dengan baik.

Ketika Bodhisattva mengetahui bahwa ubinya hilang dari atas daun teratai, kuntum bunga dan madu penghiasnya rusak, ia berpikir: “Seseorang telah mengambil makanan bagianku!” Tetapi tidak merasa marah ataupun terpengaruh, ia kembali lagi ke dalam pondoknya sebagaimana biasa dan kembali bermeditasi. Ia merasa tak perlu memberitahukan kejadian tersebut kepada yang lain, tak ingin mengganggu mereka. Dan mereka tentu saja, yakin bahwa Bodhisattva telah memakan bagiannya, mengambil bagiannya masing-masing sebagaimana biasa dan memakannya di dalam pondok mereka, setelah itu kembali melaksanakan meditasinya.

Dengan cara yang sama, Sakka mengambil bagian Bodhisattva pada hari kedua, ketiga, keempat dan kelima. Namun demikian kejadiannya tetap saja sama; Mahasattva tetap tenang dan sama sekali tak mempersoalkannya. Sesungguhnya, bagi orang yang baik, itu adalah hasutan pikiran, bukan berakhirnya hidup yang menyebabkan kematian yang sesungguhnya. Sehingga orang yang baik tetap sama sekali tak terganggu, bahkan meskipun hidupnya dalam keadaan bahaya.
Pada hari kelima belas sore, para pertapa sebagaimana biasa pergi ke pondok bodhisattva untuk mendengarkan ajarannya. Tetapi saat melihatnya, mereka sangat terkejut; tubuh Bodhisattva begitu kurus, perutnya begitu kosong dan matanya begitu sayu. Wajahnya yang berseri telah berkabut, suaranya kehilangan kekuatannya. Tetap saja, betapapun sangat kurus, ia tetap menarik bagaikan bulan sabit, berkat kebajika, kebijaksanaan, keteguhan dan keseimbangan batinnya yang tak pernah surut.

Setelah menyampaikan hormat kepada Bodhisattva sebagaimana biasa, para saudaranya lalu bertanya kepadanya dengan cemas yang menjadi penyebab keadaannya tersebut, dan Bodhisattva memberitahu mereka tentang makanannya yang hilang. Sulit membayangkan siapakah yang tega melakukan perbuatan seperti itu, dan sedikit cemas atas penderitaan saudaranya, para pertapa membicarakan penderitaanya, mata mereka tertunduk ke tanah sedih. Akan tetapi karena kekuatan Sakka secara perlahan-lahan telah bekerja mempengaruhi pikiran mereka, ia tak dapat bertamu karena keanehannya yang tak terlihat.

Lalu salah seorang saudara, tepatnya adik dari Bodhisattva, menunjukkan kedua alat penanda dan ketidaksalahannya melalui pernyataannya demikian: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, Oh Sang Brahmana, memperoleh rumah yang dihiasi oleh hiasan kekayaan dan seorang istri yang menyenangkan keinginan hatinya. Semoga ia juga memiliki banyak anak serta cucu!”

Kata saudaranya yang kedua: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, Oh Brahmana Mulia, akan ditandai dengan keterikatan yang kuat pada kesenangan duniawi. Semoga ia mengenakan benang serta karangan bunga serta wewangian terpilih, busana terbaik serta permata; semoga ia disayangi oleh anak-anaknya yang menarik!”

Kata saudaranya yang ketiga: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, menjadi perumah tangga yang kaya dengan keluarga yang besar. Semoga ia menyukai kehidupan rumah tangga tanpa berpikir sesaat pun ketika ia harus meninggalkan dunia!”

Ujar saudaranya yang keempat: “Semoga orang tamak yang mengambil ubi terataimu berkuasa di seluruh bumi, dipuja oleh para pangeran yang patuh seperti budak yang membungkukkan kepalanya dengan rendah kepadanya!”

Ujar saudaranya yang kelima: “Semoga siapapun yang mengambil ubi terataimu menjadi seorang pendeta agung di istana raja! Semoga ia memiliki pengetahuan mantra ampuh dan diperlakukan dengan sangat hormat!”

Ujar saudaranya yang keenam: “Semoga orang yang lebih pantas untuk memiliki ubi terataimu dari pada kemuliaanmu, menjadi seorang guru yang termasyhur fasih dalam melafalkan Veda, menikmati puji-pujian dari para siswanya yang banyak, yang memandangnya sebagai seorang pertapa agung!”

Ucap sahabatnya: “Semoga orang yang tak mampu mengekang keinginannya pada ubi terataimu, diberikan seuah desa yang baik oleh raja, desa yang dipenuhi oleh penduduk yang makmur yang memiliki lumbung jagung, timbunan kayu serta air, dan semoga ia meninggal tanpa pernah menaklukkan keinginannya!“

Ucap pelayan pria: “Semoga orang yang menghancurkan urusannya sendiri demi mendapatkan ubi teratai itu, menjadi seorang kepala desa. Semoga ia memiliki banyak teman, dihibur oleh banyak penari dan penyanyi wanita, semoga ia tak disakiti oleh raja!”
Ucap saudara perempuannya: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, menjadi seorang wanita yang kecantikannya tiada banding, dengan penampilan dan rupa tiada banding di dunia; semoga raja mengambilnya sebagai istri, dan semoga menjadikannya pemimpin di antara seribu orang selirnya!”

Ucap pelayan wanitanya: semoga orang yang mengarahkan hatinya untuk mendapatkan ubi teratai itu daripada memperoleh Dharma, sangat menyukai makan-makanan daging yang lezat saja dan dalam kegelapan. Semoga ia mengabaikan segala kebajikan, dan bergembira di mana pun ia diberikan makanan yang bagus!”

Saat itu, tiga makhluk hidup di dalam hutan juga datang mendekat untuk mendengarkan ajaran: seorang yaksa, seekor gajah dan seekor kera. Setelah mendengar pembicaraan tersebut, ketiganya diliputi oleh keragu-raguan serta kebingungan. Sehingga yaksa menyampaikan perasaanya dalam pernyataan sopan ini:

“Semoga siapa pun yang mengecewakanmu demi mendapatkan ubi teratai itu akan menjadi anggota vihara besar. Semoga ia bertanggung jawab atas segala perbaikan kota Kakangala dan diperintahkan untuk membuat satu jendela setiap hari!”

Ujar sang gajah: “Rsi termulia, semoga orang yang mengambil ubi terataimu akan dikeluarkan dari dalam hutan yang indah ini ke tempat manusia. Semoga ia dibelenggu dengan enam ratus rantai logam keras dan menderita penyakit yang menjijikkan dan galah penunggangnya!”
Ujar sang kera: “Semoga siapa pun yang tergerak oleh kerakusannya mengambil ubi terataimu, mengenakan untaian bunga yang murah dan ban leher kecil yang ketat melingkar di lehernya! Semoga ia dipukuli dengan tongkat dan dipaksa menari di depan seekor ular! Semoga ia melewatkan hari-harinya di rumah manusia!”

Selanjutnya dengan kata-kata yang baik dan meyakinkan, Bodhisattva menunjukkan kedalaman sifat belas kasihnya: “Semoga orang yang berkata salah: “Ia telah menghilang”, mesikipun ia memilikinya, memperoleh segala bentuk kesenangan dunia yang senantiasa diinginkannya, serta mati sebagai perumah tangga. Dan semoga keuntungan yang sama juga terjadi pada mereka yang menuduh yang lain melakukan perbuatan tersebut!”

Pernyataan yang sedemikian tak lazim, mengungkapkan ketidaksenangannya pada segala kesenangan duniawi, benar-benar sangat mengejutkan Sakka, Raja Para Dewa. Dalam penampilannya yang bersinar, ia menemui para pertapa dan berkata, seakan ia merasa kesal:
“Engkau tak seharusnya berkata seperti itu. Setiap orang di dunia ini menginginkan kebahagiaan, beberapa orang berjuang untuk itu dengan begitu susah payah hingga mereka bahkan tidak tidur; demi memperoleh kebahagiaan, orang akan melakukan berbagai cara pengorbanan dan kerja keras. Masihkan Engkau mencela kebahagiaan itu, dengan menyebutnya ‘Kebahagiaan duniawi!’ Bagaimana bisa Engkau membuat penilaian seperti itu?”

Bodhisattva menjawab: “Kebahagiaan indriawi akan membuat mereka menderita tiada akhir. Dengarlah, aku akan memberi tahumu tepatnya mengapa para Muni menyingkirkan keinginan. Orang akan berada dalam belenggu serta kematian, penyesalan, kelelahan, bahaya serta tiada terbilang bencana, hanya demi mendapatkan keinginannya. Untuk memperoleh apa yang mereka inginkan, raja akan dengan penuh nafsu menindas orang-orang baik, dan jatuh dari neraka ke neraka setelah kematiannya.

“Saat persahabatan tiba-tiba putus; ketika jalan yang salah dan ternoda dijalani demi memperoleh kemajuan; ketika nama baik hilang dan penderitaan timbul; bukankah yang demikian selalu disebabkan oleh keinginan?”

Kebahagiaan dunia, karena itu menghancurkan setiap orang, yang mulia, yang biasa maupun yang hina, baik dalam hidup ini maupun selanjutnya. Untuk itu, oh Dewa Sakka, demi untuk membawa kebajikan bagi dirinya sendiri, para Rsi menjaga jarak dari keinginan, sebagaimana menjauh dari ular yang marah.”

Merasa senang atas ucapan sang pertapa, Sakka menimpali: “Benar sekali!” Lalu ia mengakui bahwa dirinyalah yang telah melakukan pencurian. Orang Mulia hanya dapat diuji melalui cobaan, karenanya kusembunyikan ubi terataimu. Betapa beruntungnya dunia di mana keagungan yang seperti ini dijalankan! Ini, ambilah ubi teratai dariku untuk menunjang kelangsungan serta kesucian perbuatanmu.”

Demikianlah, ia lalu menyerahkan ubi teratai kepada Bodhisattva. Tetapi Mahasattva, berdasarkan kemurnian hati yang telah terbebas dari kebanggaan, mencela Sakka karena sikap ketidaksopanan serta kelancangannya:

“Kami bukanlah keluargamu, bukan juga sahabatmu. Kami bukanlah pemain sandiwara ataupun pelawak. Lalu apa alasanmu datang kemari, Hei Raja Para Dewa, mempermainkan para Rsi seperti ini?”

Dengan segera Sakka melepaskan perwujudan kedewataannya, antingnya yang kemilau, mahkotanya dan kalungnya yang menyala. Bersujud dengan penuh hormat, ia berkata demikian kepada Bodhisattva:

“Oh Mahasattva, Engkau yang telah terbebas dari sikap mementingkan diri sendiri, mohon maafkan perbuatanku yang salah sebagaimana seorang ayah atau guru. Bukanlah hal tak biasa bagi mereka yang mata kebijaksanaannya tertutup untuk mengganggu orang lain, meskipun ia sendiri juga begitu. Mohon maafkanlah kejahatan kami, dan mohon jangan menutup hati pada kami.” Setelah meredakan Bodhisaattva, Sakka menghilang.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana mereka yang telah belajar untuk menemukan kebahagiaan penyepian tak sesuai lagi dengan kesenangan duniawi. Mereka akan berpaling darinya seolah berpaling dari yang tidak menyenangkan serta kejahatan.
Jataka ini dijelaskan oleh Sang Bhagava demikian: “Aku telah menjadi saudara yang paling tua saat itu. Sariputta, Moggalana, Kassapa, Punna, Anurudha dan Ananda adalah saudara-saudaraku yang lain. Uppalavana adalah saudara perempuan. Kubgottara yang menjadi pelayan perempuan. Perumah tangga Kitra adalah pelayan prianya. Satagiri adalah yaksanya, Pariliya gajah, Madhudatar keranya, Kaludayi yang menjadi Sakka pada saat itu. Simpanlah Jataka ini dalam hati.

Prasangka

Suatu hari, ada seorang wanita sedang menunggu di bandara. Wajahnya cantik dan anggun. Ia menunggu giliran penerbangannya. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu mencari tempat duduk. Sambil duduk, wanita itu membaca buku yang baru saja dibelinya. Saat sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada di antara mereka. Wanita itu mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.

Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si pencuri kue yang kurang ajar itu menghabiskan kue persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir “Pria ini benar-benar kurang ajar. Benar-benar tak tau sopan santun, seenak perutnya sendiri mengambil kue orang tanpa permisi. Kalau aku bukan orang baik, sudah kutonjok dia! Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, wanita ini bertanya-tanya dna ingin tau apa yang akan dilakukan lelaki itu. Eh, ya ampun… pria kurang ajar betul.. dengan senyum menyebalkan dan wajah tanpa dosa, laki-laki sialan itu mengambil kue terakhir dan membaginya dua dengan si wanita yang sudah dongkol setengah mati ini. Si lelaki menawarkan separo kuenya, sementara ia disodori untuk makan yang separonya lagi. Aaahhhhhh benar-benar sialan, seringai tawanya seperti iblis jantan!!

Si wanita pun merebut kue itu dengan kasar dan berpikir, ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga sangat kurang ajar, malah ia tidak kelihatan menyesal sama sekali, benar-benar tidak tahu berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu kesal. Memang dunia ini semakin gila, contohnya: perampokan ada dimana-mana, bahkan para pencuri dan perampok itu sudah tak sungkan-sungkan lagi merampok dan melukai korbannya di depan mata kita. Benar-benar berani dan kurang ajar. Dan sekarang ia mengalaminya sendiri, kuenya dicuri di depan matanya, tanpa rasa takut dan sungkan. Benar-benar laki-laki kurang ajar!

Wanita ini menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Ia membuang muka dan menolak untuk menoleh pada si Pencuri tak tahu terima kasih itu! “Huh, seumur hidup, baru kali ini aku bertemu dengan orang sialan paling kasar, paling kurang ajar, tak sopan dan tak tahu berterima kasih seperti itu. Dasar maling tak tahu diuntung,” pikirnya jengkel.

Ia naik pesawat dan duduk dikursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat dia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget, jantungnya serasa berhenti. Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya. “Lho kok kueku masih ada disini?”, wanita ini mengerang dengan gelisah, mukanya memerah karena malu. Jadi, kue tadi memang adalah milik lelaki itu. Justru ia pria baik yang mencoba berbagi dengannya. Terlambat untuk meminta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu berterima kasih dan dialah pencuri kue itu. Aaaaaarrrrgggghhh ……….

Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri serta tak jarang kita berprasangka buruk dan menuduh orang lainlah yang kasar, orang lainlah yang tak tau berdosa, orang lainlah yang salah, padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tau berterima kasih.
Kita sering mengomentari, mencemooh pendapat atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya.
Siapakah Anda??? Si wanita “Anggun”??? atau pria “Pencuri Kue” itu???

Kisah Bambu dan Seorang Petani

Oleh: Umul Choironi

Pada suatu waktu ada sebuah kebun yang ditanami oleh berbagai tanaman indah. Kebun itu dijaga dan dipelihara dengan sepenuh hati oleh seorang petani. Setiap hari ia menyiangi dan merawat semua tanaman yang tumbuh di sana dengan hati-hati dan penuh kasih sayang.

Dari sekian tanaman yang ada dalam kebun itu, bambu adalah tanaman yang paling dicintainya. Bambu memang tanaman yang paling indah yang tumbuh di dalam kebun itu. Bambu tumbuh berbaris berjajar mengelilingi kebun bak pagar kokoh yang melindungi tanaman lain. Batangnya berdiri paling tinggi menjulang ke atas seolah menopang langit. Bila angin tiba, tubuhnya bergoyang-goyang lembut dan daunnya gemerisik melantunkan kidung merdu. Siapapun yang mendengarnya pasti terpesona. Bila hujan turun, tetes-tetes sisa air hujan menggelayut di ujung-ujung daun berkilauan seperti anting-anting berlian dikenakan para bidadari. Ranting-rantingnya taut-bertaut memberikan tempat bagi burung-burung untuk beristirahat. Di udara yang panas, daun-daun rindangnya menaungi tanaman kecil dari teriknya mentari. Petani itu selalu memandangi bambu itu dengan pandangan penuh suka cita.

Suatu hari, petani itu mendatangi bambu. Ia mengusap batang bambu itu dan berbisik pada sang bambu. Dengan gembira, sang bambu menundukkan kepalanya perlahan agar dapat mendengar bisikan petani. Petani itu berbisik lembut, “Bambu…oh, bambu…, aku bermaksud menggunakanmu.” Bambu itu merasa berbahagia. Ia telah menghabiskan setiap jam dalam hidupnya untuk tumbuh dan berkembang. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun ia memperkuat diri. Batangnya telah tumbuh hijau, kokoh, besar dan kuat. Kini tibalah waktu baginya untuk memenuhi takdir mengapa ia diciptakan di muka bumi. Bambu menjawab bisikan petani, “Oh, tuantku. Aku telah siap. Gunakan aku sebagaimana kau kehendaki.” “Bambu oh bambu,” suara petani itu bergetar. “Aku harus menebang dan memotong tubuhmu.”

Bambu itu gemetar penuh ketakutan. “Oh, tuanku. Mengapa kau harus memotong tubuhku yang indah ini? Bukankah kau telah merawatku sedemikian rupa sehingga aku tumbuh menjadi bambu tercantik yang pernah ada. Jangan potong tubuhku. Gunakan saja aku sebagai penyejuk pandanganmu, penghias kebun ini.” “Bambu oh bambu,” suara petani itu semakin bergetar. “Bila aku tidak memotong tubuhmu aku tidak dapat menggunakanmu.”

Tiba-tiba suasana kebun itu menjadi sunyi senyap. Angin menahan nafasnya. Dengna perlahan sang bambu meluruhkan kebanggaannya, tunduk patuh pada permintaan tuannya yang telah merawat hidupnya selama ini. “Oh, tuanku. Bila kau tak dapat menggunakanku tanpa memotong tubuhku, maka lakukanlah. Potonglah tubuhku.” “Bambu oh bambu,” lanjut petani. “Aku pun akan memangkas daun-daun dan ranting-rantingmu.” “Oh, tuanku. Kasihanilah aku.” rengek sang bambu. “Kau boleh memotong tubuhkan yang indah ini. Tetapi, mengapa kau harus memangkas daun dan ranting-ranting juga?” “Bambu oh bambu. Bila aku tidak memangkasnya, aku tidak bisa menggunakanmu,” jawab petani. Matahari menyembunyikan wajahnya. Dengung lebah pun terhenti. Sadar akan pengabdiannya pada petani, bambu itu pun menjawab. “Oh, tuanku. Lakukanlah.” “Bambu oh bambu. Aku pun akan membelah tubuhmu menjadi dua memotong buku-bukumu, bila tidak aku tidak bisa menggunakanmu, “ kata petani. Sang bambu tersungkur di tanah penuh penyerahan diri. “oh tuanku. Bila itu yang kau kehendaki, belahlah tubuhku.”

Kemudian, petani itu memotong bambu, membersihkan batangnya dari ranting-ranting dan daun-daun. Membelah batangnya menjadi dua dan membersihkan buku-bukunya. Setelah itu, dengan hati-hati petani memanggul bambu itu dan membawanya ke lembah bukit tempat sebuah mata air jernih memancar dari sela-sela batu. Ia lalu meletakkan satu ujung bambu untuk menampung air dan menyambung ujung satunya dengan batang bambu lain terus memanjang sehingga menuju sebuah sawah padi yang kering. Ya… bambu itu kini bertugas sebagai saluran air. Tubuhnya yang dulu menjulang tinggi, kini berkelak-kelok menuruni lembah menjadi tempat mengalirnya air bergemericik, menuju sawah petani. Dan, petani pun bisa menanami sawahnya dengan pepadian. Beberapa bulan kemudian. Padi telah menguning matang dan siap untuk dipanen. Para petani dengan suka cita turun kesawah memanennya.

Pada saat itulah, sang bambu menyadari bahwa ia pernah begitu bangga dengan kecantikannya. Namun, dalam kepatuhan dan pengorbanan, kejayaan hidupnya tak sedikitpun berkurang bahkan kini ia menjadi penyambung hidup bagi dunia yang lebih semesta.

Menjaga, merawat dan menyayangi diri sendiri memang kewajiban kita, namun membantu orang lain dengan mengorbankan kepentingan diri kita adalah suatu kemuliaan yang besar yang bisa kita lakukan untuk kebahagiaan banyak makhluk. Sekecil apapun pemberian dan pengorbanan yang kita berikan, akan membawa kebahagiaan yang besar yang mungkin tidak pernah kita duga sebelumnya.

Hukum Pygmalion (bukan Archimedes)

Pygmalion adalah seorang pemuda yang berbakat seni memahat. Ia sungguh piawai dalam memahat patung. Karya ukiran tangannya sungguh bagus. Tetapi bukan kecakapannya itu yang menjadikan Ia dikenal dan disenangi teman dan tetangganya. Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik. Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang mengomel. Tapi Pygmalion berkata, “Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.” Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik,”Kikir betul orang itu.” Tetapi Pygmalion berkata,”Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu.” Ketika anak-anak mencuri apel di kebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, “Kasihan, anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.” Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru dari segi baik.Ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Sebaliknya, Ia mencoba membayangkan hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain.

Pada suatu hari, Pygmalion mengukir sebuah patung wanita dari kayu yang sangat halus. Patung itu berukuran manusia sungguhan. Ketika sudah rampung, patung itu tampak seperti manusia betul. Wajah patung itu tersenyum manis menawan, tubuhnya elok menarik. Kawan-kawan Pygmalion berkata,”Ah, sebagus-bagusnya patung, itu cuma patung, bukan istrimu.” Tetapi Pygmalion memperlakukan patung itu selayaknya manusia, berkali-kali patung itu ditatap dan dielusnya. Para Dewa yang ada di gunung Olympus memperhatikan dan menghargai sikap Pygmalion, lalu mereka memutuskan untuk memberi anugrah kepada Pygmalion, yaitu mengubah patung itu menjadi manusia. Begitulah, Pygmalion hidup berbahagia dengan istrinya itu, yang konon adalah wanita tercantik di seluruh negeri Yunani.

Nama Pygmalion dikenang hingga kini untuk menggambarkan dampak pola berpikir yang positif. Kalalu kita berpikir positif tentang suatu keadaan atau seseorang, seringkali hasilnya betul-betul menjadi positif. Misalnya,
· Jika kita bersikap ramah terhadap seseorang, maka orang itupun akan menjadi ramah terhadap kita.
· Jika kita memperlakukan anak kita sebagai anak yang cerdas, akhirnya dia betul-betul menjadi cerdas.
· Jika kita yakin bahwa upaya kita akan berhasil, besar sekali kemungkinan upaya dapat merupakan separuh keberhasilan.
Dampak pola berpikir positif itu disebut dampak Pygmalion. Pikiran kita memang seringkali mempunyai dampak fullfilling prophecy atau ramalan tergenapi, baik positif maupun negatif.
· Kalau kita menganggap tetangga kita judes sehingga kita tidak mau bergaul dengan dia, maka akhirnya dia betul-betul menjadi judes.
· Kalau kita mencurigai dan menganggap anak kita tidak jujur, akhirnya ia betul-betul menjadi tidak jujur.
· Kalau kita sudah putus asa dan merasa tidak sanggup pada awal suatu usaha, besar sekali kemungkinannya kita betul-betul akan gagal.
Pola pikir Pygmalion adalah berpikir, menduga dan berharap hanya yang baik tentang suatu keadaan atau seseorang. Bayangkan, bagaimana besar dampaknya bila kita berpola pikir positif seperti itu. Kita tidak akan berprasangka buruk tentang orang lain. Kita tidak menggunjingkan desas-desus yang jelek tentang orang lain. Kita tidak menduga-duga yang jahat tentang orang lain. Kalau kita berpikir buruk tentang orang lain, selalu ada saja bahan untuk menduga hal-hal yang buruk.

Jika ada seorang kawan memberi hadiah kepada kita, jelas itu adalah perbuatan baik. Tetapi jika kita berpikir buruk, kita akan menjadi curiga, “Barangkali ia sedang mencoba membujuk,” atau kita mengomel, “ Ah, hadiahnya cuma barang murah.” Yang rugi dari pola pikir seperti itu adalah kita sendiri. kita menjadi mudah curiga. Kita menjadi tidak bahagia. Sebaliknya, kalau kita berpikir positif, kita akan menikmati hadiah itu dengan rasa gembira dan syukur,”Ia begitu murah hati. Walaupun ia sibuk, ia ingat untuk memberi kita.”….

Warna hidup memang tergantung dari warna kacamata yang kita pakai. Kalau kita memakai kaca mata kelabu, segala sesuatu akan tampak kelabu. Hidup menjadi kelabu dan suram. Tetapi kalau kita memakai kaca mata yang terang, segala sesuatu akan tampak cerah. Kaca mata yang prasangka atau benci akan menjadikan hidup kita damai. Hidup akan menjadi baik kalau kita memandangnya dari segi yang baik. Berpikir baik tentang diri sendiri, berpikir baik tentang orang lain, berpikir baik tentang keadaan. Dampak berpikir baik seperti itu akan kita rasakan. Keluarga menjadi hangat. Kawan menjadi bisa dipercaya. Tetangga menjadi akrab. Pekerjaan menjadi menyenangkan. Dunia menjadi ramah. Hidup menjadi indah. Seperti Pygmalion, begitulah.

Sesudah Badai Berlalu ... Tenang

Ketika itu Sang Buddha sedang bersemayam di Savatthi. Di sana tinggal seorang ibu yang sering dipanggil dengan Kanamata atau ibu Kana. Ibu ini pengikut setia Sang Buddha, ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Kana. Anak perempuannya ini sudah menikah dengan seorang laki-laki dari lain desa. Pada suatu waktu, Kana datang menengok ibunya. Beberapa hari kemudian suaminya mengirim pesan, supaya istrinya segera pulang ke rumah. Ibunya berkata: "Tunggulah sampai esok hari", karena ia ingin membuat kue-kue untuk menantunya.

Keesokkan harinya, Ibu Kana membuat kue, tetapi pagi itu lewat empat bhikkhu di depan pintu rumahnya untuk pindapatta. Ibu Kana lalu memberikan kue-kue itu kepada keempat bhikkhu itu. Keempat bhikkhu yang sudah menerima kue, bercerita kepada bhikkhu lainnya bahwa kue dari Ibu Kana enak sekali. Jadi, para bhikkhu yang lain juga berpindapatta kesana. Ibu Kana sebagai pengikut setia Sang Buddha, memberikan kue-kue yang dimasaknya. Akhirnya kue itu habis, tidak ada lagi yang tersisa untuk dibawa pulang anak perempuannya, Kana tidak jadi pulang ke rumahnya pada hari itu. Hari berikutnya, hal yang sama terjadi lagi, Ibu Kana membuat kue-kue, dan para bhikkhu berpindapatta lagi ke rumahnya, dan Ibu Kana memberikan kue-kuenya, akhirnya kue yang dimasaknya itu habis lagi, dan anak perempuannya tidak jadi pulang lagi. Pada hari ketiga, suami Kana mengirimkan pesan apabila pada hari itu Kana tidak pulang ke rumah, ia akan mencari isteri lagi. Tetapi pada hari ketiga Kana tetap tidak bisa pulang karena kue yang dimasak ibunya habis lagi sebab para bhikkhu pada hari itu berpindapatta ke rumah ibunya. Kemudian suami Kana yang menunggu istrinya tidak pulang-pulang, mengambil istri lagi. Kana menjadi amat marah kepada para bhikkhu. "Bhikkhu-bhikkhu ini telah menghancurkan rumah tanggaku."

Sejak saat itu apabila ia bertemu dengan para bhikkhu, ia selalu mencaci maki dan berlaku kasar. Akibatnya para bhikkhu tidak berani melalui jalan di depan rumah Ibu Kana lagi. Sang Buddha yang mengetahui hal itu, lalu pergi ke rumah Ibu Kana. Ibu Kana segera menyambut kedatangan Sang Buddha dan mempersilahkan Sang Guru Agung untuk duduk. Setelah memberikan hormat, ia lalu mempersembahkan bubur dan makanan-makanan lainnya. Selesai makan, Sang Buddha bertanya kepada Ibu Kana: "Mana Kana?" "Yang Mulia, ketika ia melihat YangMulia,ia merasa susah dan sekarang menangis." "Apa alasannya?" "Yang Mulia, ia telah mencaci dan berlaku kasar kepada para bhikkhu. Jadi ketika ia melihat Yang Mulia datang kesini, ia merasa amat susah dan sekarang ia menangis." Sang Guru Agung memanggil Kana dan bertanya : "Kana, mengapa ketika kamu melihatKu, kamu menjadi susah dan menyembunyikan diri sambil menangis?" Kemudian ibunya menceritakan apa yang telah terjadi kepada Sang Buddha. Sang Buddha lalu berkata : "Ibu Kana, apakah kamu memberikan kepada murid-muridKu apa-apa yang mereka terima, atau tidak?" "Saya memberikan kepada mereka apa-apa yang mereka terima,Yang Mulia." "Apabila murid-muridKu mendatangi rumahmu ketika mereka berpindapatta dan menerima dana yang kamu berikan,apakah murid-muridKu melakukan kesalahan?" "Tidak,YangMulia,mereka tidak melakukan kesalahan,Kana sendiri yang bersalah." Sang Buddha kembali bertanya kepada Kana: "Kana, saya mengetahui murid-muridKu mendatangi rumahmu ketika mereka berpindapatta dan ibumu memberikan kue-kue kepada mereka, apakah murid-muridKu melakukan kesalahan?" "Mereka tidak bersalah Yang Mulia, saya sendiri yang bersalah." Setelah Kana menyadari kesalahannya, ia lalu memberikan hormatnya, dan mohon maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sang Buddha lalu memberikan nasehat dan mengajarkan Dhamma kepada Kana. Pada akhir khotbah, Kana mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapanna). Sang Buddha lalu bangun dari tempat duduk, dan pulang kembali ke Vihara Jetavana.

Dalam perjalanan pulang menuju ke Vihara Jetavana, seorang Raja melihat Sang Buddha sedang berjalan melewati istananya, Raja kemudian bertanya kepada pembantunya: "Bukankah itu Sang Buddha?" "Ya betul, Yang Mulia." Lalu Raja itu mengirimkan salah satu pembantu utamanya untuk mengundang Sang Buddha mampir ke istananya:"Katakan kepada Sang Guru Agung, saya ingin menyampaikan hormat saya kepadaNya."

Ketika Sang Buddha tiba di istana, Raja menyambutnya, memberi hormat dan berkata: "Yang Mulia, dari manakah Anda?" “Saya baru saja dari rumah Ibu Kana, Yang Mulia Raja." "Mengapa Anda pergi ke sana, Yang Mulia?" "Saya mendapat informasi Kana mencaci maki dan berlaku kasar terhadap para bhikkhu, karena itulah Saya pergi ke sana." "Dapatkah Anda hentikan kemarahannya, Yang Mulia?" "Tentu saja Yang Mulia Raja, ia sudah menghentikan kemarahannya, kini ia telah menjadi pemilik dari kekayaan yang melebihi kekayaan duniawi." "Oh, luar biasa Yang Mulia, Anda telah membuatnya menjadi pemilik kekayaan yang melebihi kekayaan dunia, saya ingin membuatnya menjadi pemilik kekayaan di dunia ini." Setelah Raja memberikan hormatnya kepada Sang Buddha, lalu Sang Buddha melanjutkan perjalanan menuju ke Vihara Jetavana.

Sang Raja lalu mengirim kereta kencana yang sangat indah ke rumah Kana, mengundangnya untuk datang, dan menganggap Kana sebagai anaknya sendiri. Ia lalu mengumumkan: "Siapakah yang ingin mengambil Kana, anak perempuanku ini?" Ada seorang bijaksana yang kaya raya, yang mempunyai segalanya, menjawab: "Yang Mulia, saya ingin mengambil anak perempuanmu itu." Setelah berkata demikian, ia lalu membawa pulang Kana, memberikan semua kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya kepada Kana dan berkata : "Anakku, lakukanlah perbuatan baik sesuai dengan keinginanmu." Sejak itu Kana selalu berdana kepada semua bhikkhu yang datang untuk berpindapatta di ke empat pintu rumahnya. Ia lalu mencari bhikkhu yang lebih banyak lagi, karena ia ingin berdana lebih banyak lagi tetapi ia gagal menemukannya. Persediaan makanannya bertumpuk, baik makanan keras maupun lembut, selalu tersedia di rumah dan makanan itu mengalir keluar dari rumahnya seperti air bah saja.

Para bhikkhu lalu membicarakan kejadian ini di salah satu ruangan vihara. "Beberapa waktu yang lalu, empat saudara kita melukai perasaan Kana. Tetapi Kana yang meskipun merasa terluka, ia mendapat berkah dan perlindungan langsung dari Sang Guru sendiri. Sang Guru telah membuat pintu rumahnya amat berharga untuk para bhikkhu yang datang. Sekarang ia tidak dapat menemukan bhikkhu atau bhikkhuni yang lebih banyak untuk dilayaninya.Oh, sungguh luar biasa kekuatan Guru Agung kita ini!" Sang Buddha lalu datang dan mengucapkan syair: "Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang, demikian pula batin para bijaksana menjadi tenteram karena mendengarkan Dhamma." (Dhammapada, Pandita Vagga no. 7)

Kisah seperti ini mungkin pernah atau sering kita alami, meskipun bukan dalam kasus yang sama persis. Kana yang langsung marah pada para Bhikkhu terbukti bahwa ia kurang mawas diri. Oleh karena itu, sebelum bertindak hendaknya kita merenungkan terlebih dahulu, apakah tindakan yang akan kita ambil itu baik dan bermanfaat untuk diri kita atau orang lain, ataukah akan menyakiti dan merugikan orang lain disamping diri kita sendiri.

Kisah Anne

Ada pasangan suami istri yang sudah menikah selama beberapa tahun tetapi belum mempunyai anak. Sejak sepuluh tahun yang lalu, sang istri terlibat aktif dalam kegiatan yang menentang ABORSI, karena menurut pandangannya, aborsi berarti membunuh seorang bayi. Setelah bertahun-tahun menikah, akhirnya sang istri hamil. Pasangan ini sangat gembira mendengar kabar ini.

Dokter menemukan sang istri mengandung bayi kembar laki-laki dan perempuan. Alangkah bahagianya pasangan tersebut karena diberkahi dua bayi sekaligus. Tetapi setelah beberapa bulan, sesuatu yang buruk terjadi. Bayi perempuan dalam kandungan sang istri tersebut mengalami kelainan, dan ia mungkin tidak bisa bertahan hidup hingga masa kelahiran tiba. Kondisi bayi perempuan tersebut juga dapat mempengaruhi kondisi bayi laki-laki dan ibunya. Atas dasar ini, dokter menyarankan untuk dilakukannya aborsi demi kesehatan ibu dan bayi laki-lakinya.

Fakta harus dilakukan aborsi untuk bayi perempuan itu membuat pasangan ini menjadi depresi. Walaupun khawatir dengan kesehatan bayi laki-lakinya, mereka tetap bersikeras untuk mempertahankan bayi perempuan itu. “Saya bisa merasakan keberadaannya, dia sedang tidur nyenyak,” kata sang ibu disela tangisannya. Lingkungan disekitar mereka memberi dukungan moral dan mengatakan bahwa pasti ada tujuan positif dibalik kerapuhan seorang bayi perempuan.

Sang istri percaya pasti ada hal positif yang bisa dilakukan untuk ataupun oleh bayi perempuannya. Hal ini membuatnya lebih tabah. Pasangan tersebut berusaha menerima fakta yang menyakitkan ini, namun tidak lantas menyerah begitu saja. Mereka terus mencari berbagai informasi melalui internet, pergi ke perpustakaan dan menemui banyak dokter untuk mempelajari lebih banyak tentang masalah bayi mereka. Satu hal yang mereka temukan adalah bahwa mereka tidak sendirian. Banyak pasangan lain juga mengalami masalah serupa dengan mereka, dimana bayi mereka tidak dapat bertahan hidup lama. Mereka juga menemukan bahwa beberapa bayi akan mampu bertahan hidup bila mereka mampu memperoleh donor organ dari bayi lainnya. Namun, siapa yang mau mendonorkan organ bayinya ke orang lain?

Pasangan ini telah memberikan nama pada kedua bayi mereka sebelum mereka dilahirkan. Nama bayi-bayi tersebut adalah Jeffrey dan Anne. Pasangan tersebut terus berdoa agar bayi mereka sembuh. Kemudian mereka tahu, bahwa seharusnya mereka memohon untuk diberikan kekuatan agar mampu untuk menghadapi apapun yang terjadi, pasti ada hal positif dibalik semua kesulitan yang mendera ini.

Tak lama kemudian keajaiban terjadi. Dokter menyatakan bahwa Anne cukup sehat untuk dilahirkan tetapi ia hanya mampu bertahan hidup selama 2 jam. Sang istri kemudian berdiskusi dengan suaminya, bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi pada Anne, mereka akan mendonorkan organ Anne pada bayi lainnya yang mengalami nasib serupa dengan Anne. Sekali lagi pasangan ini berlinang air mata. Mereka dihadapkan pada posisi sebagai orang tua yang tidak mampu menyelamatkan anaknya . Namun, mereka tetap bertekad untuk tabah menghadapi kenyataan ini.

Hari kelahiran akhirnya tiba. Sang istri berhasil melahirkan kedua bayinya dengan selamat. Pada saat yang sangat berharga tersebut, sang suami menggendong Anne dengan hati-hati. Anne menatap ayahnya dan tersenyum dengan manis. Senyuman Anne tersebut tak akan pernah dilupakan ayahnya. Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan perasaan pasangan tersebut. Mereka sangat bahagia karena telah melakukan pilihan yang tepat, yaitu tidak mengaborsi Anne. Mereka bahagia menatap Anne yang begitu mungil tersenyum pada mereka, tetapi juga sedih karena kebahagiaan ini akan berakhir dalam beberapa jam saja. Namun, keajaiban terjadi lagi. Anne tetap bertahan hidup setelah lewat 2 jam. Hal ini memberikan kesempatan bagi keluarga tersebut untuk saling berbagi kebahagiaan. Tetapi, Anne ternyata tidak mampu bertahan setelah 6 jam.

Para dokter bekerja cepat untuk melakukan prosedur pendonoran organ Anne. Setelah beberapa minggu, dokter menghubungi pasangan tersebut dan mengatakan bahwa donor yang mereka lakukan telah berhasil. Dua bayi berhasil diselamatkan dari kematian. Pasangan tersebut akhirnya menyadari bahwa ini adalah hal positif yang ada dibalik kepahitan atas kehilangan Anne. Walaupun Anne hanya mampu bertahan hidup selama 6 jam, tetapi ia berhasil menyelamatkan 2 nyawa dan memberikan kehidupan serta kebahagiaan bagi kedua keluarga bayi yang berhasil bertahan hidup dengan organ Anne. Bagi pasangan tersebut, Anne adalah pahlawan mereka dan Anne yang mungil akan selalu hidup dalam hati mereka.

Wanita yang mempertahankan untuk tidak membunuh bayinya yang mengalami kelainan walaupun kondisi kelainannya dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan kembarannya. Tidak sia-sia sang Ibu mempertahankannya, Anne dapat hidup beberapa jam dan walaupun kemudian meninggal, namun ia telah memberi kehidupan pada 2 bayi lain yang mengalami nasib serupa dengan Anne. Bila seorang bayi dapat memberi makna berarti dalam hidupnya yang singkat, mengapa banyak orang sibuk dengan keegoisannya sendiri tanpa peduli bahwa untuk kepentingan pribadinya, banyak orang yang dirugikan dan menderita karenanya.